www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-08-2020

Ketika masuk Kedokteran Undip 1985, pagi-pagi sudah ketemu salah satu mata kuliah ‘momok’, Anatomi –SKSnya besar pula. Praktikumnya langsung ke cadaver atau bermacam tulang yang sudah terawetkan, serta dibantu oleh asisten-asisten dalam pengawasan dosen pengampu. Mengapa perlu pendampingan asisten? Hal normal-biasa saja, bagai seorang anak pastilah perlu pendampingan dari orang tua dalam awal-awal hidupnya. Tetapi ketika si-anak sudah bisa berjalan, bahkan berlari tentunya pendampingan akan berbeda ketika ia sedang berlatih menapak. Demikian seterusnya sampai ia ‘wis njowo’, siap hidup di ‘jawi’, di luar. Itulah subsidiaritas. Apa-apa yang ada ‘di bawah’ bisa melakukannya sendiri, yang ‘atas’ tidak usah ikut-ikutan. Atau dibalik, jika ‘yang di bawah’ memang memerlukan bantuan karena bermacam sebabnya, adalah wajib bagi ‘yang di atas’ membantunya. Tetapi yang pertamalah yang sebenarnya ditekankan dalam konsep subsidiaritas ini. Soal bagaimana ‘yang di atas’ menahan diri.

Jika diambil sejak Perjanjian Maastricht di awal 1992-an (dua tahun setelah Tembok Berlin hancur), Uni Eropa katakanlah sudah hampir 30 tahun sebelum Inggris akhirnya menyatakan Brexit-nya yang tahun ini diharapkan disepakati detailnya. Apa yang membuat ‘regionalisasi’ yang kompetitif-dinamis  dan menguntungkan banyak anggota-anggotanya itu bisa bertahan cukup lama? Salah satu yang kadang jarang disebut adalah ‘prinsip subsidiaritas’. Tak jauh dari pengertian di atas, sejauh bermacam permasalahan dapat diselesaikan oleh para anggota sendiri, union tidak perlu campur tangan. Atau di masa pandemi ini yang mana banyak membuat perusahaan-perusahaan di Eropa juga kembang-kempis, union bertekad untuk membantu supaya tidak jatuh ke tangan asing, maksudnya kepemilikan beralih oleh yang ada di luar Uni Eropa. Demikian Euronews mengabarkan beberapa waktu lalu.

Maka di balik prinsip subsidiaritas ini bisa dikatakan adanya ‘compassion’ dan ‘tahu batas’. Compassion dari asal katanya berarti ikut merasakan penderitaan/kesakitan yang lain. Sedang tahu batas, kita tahu saat anak jatuh ketika berlatih berjalan itu menyakitkan, tetapi kita harus tahu batas juga kapan harus menolongnya. Siapa tahu ia mampu berdiri sendiri dan dengan tertawa kecil mencoba lagi menapak. Selain soal compassion dan tahu batas, ada juga soal –menyitir Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu, tanggung jawab yang kokoh. Jika anak tersandung batu misalnya, janganlah kemudian serta merta yang disalahkan batunya.

‘Titik tengah’ dari ketiga hal (compassion, tahu batas, tanggung jawab yang kokoh) adalah soal tahu batas. Manusia berkembang justru karena ia tahu batas. Ada horison. Horison yang membatasi tapi sekaligus mempunyai potensi meluas secara tak terbatas. Imajinasi akan memegang peran penting dalam meluaskan horison ini. Maka bagaimana imajinasi ini ‘keluar dari tubuh’ kemudian menjadi penting. Dan situlah kemudian peran sentral bahasa. Tetapi bahasa selain ia ‘membebaskan’ imajinasi dari ‘kurungan tubuh’ ia juga bisa sebagai ‘penjara’ sekaligus. Maka di sinilah peran penting para sastrawan, seni lukis, musik, puisi dan sejenisnya yang seakan hadir ‘merawat bahasa’ dari sisi posibilitasnya.

Dalam konvensi Partai Republik yang memutuskan mencalonkan lagi Donal Trump dalam pemilihan bulan November mendatang, Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS memberikan ‘kesaksian’ bahwa Trump menerjemahkan visinya dalam tindakan. Tidak ada satupun dari kita yang akan menolak bahwa visi seseorang pada akhirnya akan akan terhayati dalam tindakan-tindakannya. Tetapi bagaimanapun juga tindakan-tindakan itu terjadi dalam ‘rumah besar’ manusia, bahasa. Lihat bagaimana ketika bahasa Trump yang sering mengalir ‘semau-maunya’, dan akibat-akibat dari tuturnya itu. Apa yang dikatakan oleh Mike Pompeo bisa juga dinilai sebagai upaya ‘menyembunyikan’ kelemahan tutur-bahasa jagoannya. Seakan soal tutur-kata itu adalah hal lain dari soal tindakan. Tentu dalam kenyataan sehari-hari kita akan menemui banyaknya tindakan seseorang yang jauh dari tutur manisnya. Banyaklah. Tetapi jika kita melihat pelajaran bagaimana sebuah komunitas menghadapi pandemi, segera saja kita bisa meraba bagaimana kekuatan kata itu. Tentu kata-kata yang secara konsisten kemudian mewujud dalam tindakan kongkret.

Jika kembali pada soal subsidiaritas, maka dari beberapa hal di atas konsep tersebut hanya bisa berjalan jika keutamaan-keutamaan utama (cardinal virtues) berkembang dalam diri pemegang kuasa. Dengan keutamaan sentralnya adalah soal self-control, sophrosyne, tahu batas. Maka ia akan hati-hati, akan bersikap prudence terlebih pertama-tama dalam hal bertutur. Ia juga akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menuntut adanya sebuah keberanian karena yang dihadapi adalah gejolak hasrat yang begitu besarnya. Terutama adalah yang berasal dari hasrat akan uang. Masalah perampasan tanah-tanah adat yang sudah berlangsung hitungan dekade itu, adalah soal menghadapi kekuatan besar dari kekuatan uang. Tanpa keberanian, subsidiaritas hanya akan menjadi buah bibir saja. Soal tahu batas dalam hal ini tidaklah bisa lepas dari soal ‘rasa keadilan’. Tanpa ada horison soal keadilan, terlebih pada pemegang kekuasaan, self control, tahu batas akan kehilangan ‘elan vital’-nya. Akan kehilangan ‘romantika’-nya. Orang boleh-boleh saja memakai baju adat untuk menunjukkan keterpihakan pada masalah-masalah yang terkait dengan kepentingan setempat misalnya, tetapi tetaplah bukan itu sebenarnya dimensi romantika-nya. Dimensi romantika-nya adalah soal rasa keadilan, soal ‘cita-keadilan’ atau bahkan juga ‘cita-ketidak-adilan’ yang dibayangkan sudah, sedang, atau akan menimpa saudara-saudaranya setempat. Rasa keadilan yang akan mendorongnya mendekat pada kemampuan ‘tahu batas’. Dan dalam dinamika dan dialektiknya subsidiaritas, ia perlu keberanian dan sikap prudence.

Jika kita memandang bahwa ‘rumah besar’ itu adalah bahasa, maka itu berarti tidak hanya soal bicara dan kemudian bertindak sesuai dengan yang dituturkan, tetapi adalah juga soal mendengar. Dalam konvensi Partai Demokrat, Michele Obama menyoroti soal rekrutmen pemimpin. Jangan sampai salah rekrut sehingga orang seperti Donald Trump justru yang tampil. Tentu dia akan bicara demikian. Tetapi siapa yang akan menolak pentingnya rekrutmen? Kata pepatah, garbage in garbage out. *** (27-08-2020)

Subsidiaritas