24-08-2020
“Donald Trump is the wrong president for our country, find the one right for the job with ziprecruiter, the smartest way to hire” (Michele Obama)
Adakah suatu ‘kewajiban moral’ untuk ‘terus berusaha menjadi lebih baik’ bagi diri (to improve oneself), mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya? Pertanyaan berasal dari Immanuel Kant ini tiba-tiba saja muncul ketika membaca ulang pendapat Sartono Kartodirjo di awal-awal reformasi, yang mengkaitkan nasionalisme dengan prestasi (performance). Menurut Sartono, nasionalisme semestinya berkembang tidak lepas dari upaya menjamin kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan juga mendorong berkembangnya kepribadian (personality), serta prestasi (performance).
Sekilas segera nampak dari paparan Sartono Kartodirjo di atas bahwa esensi dari nasionalisme itu adalah juga nation-building. Atau kalau meminjam istilah si-Bung, nasionalisme itu tidak hanya berhenti dalam konteks romantika saja, tetapi juga tidak lepas dari dinamika dan dialektikanya. Dinamika dan dialektikanya unity, liberty, equality, personality, dan performance. Dinamika dan dialektikanya nation-building. Dalam kesempatan ini lebih ditekankan pada soal performance, prestasi.
Ada beberapa istilah yang ada dalam beberapa komunitas untuk mendekati apa yang disinggung oleh Immanuel Kant soal self-improvement. Yang jika itu berkembang semakin banyak dalam diri orang per orangnya ia kemudian seakan tidak hanya sekedar urusan pribadi, tetapi sudah seperti ‘ideology as cultural system’, meminjam istilah Clifford Greetz, yaitu meritokrasi (barat) dan shangshangce (cina). Eep Saefulloh Fatah dalam salah satu kolomnya di Tempo (28 Sept. 2009) mengusulkan kata baru, ‘rendra’, yang bermakna sebagai seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang.
Self-improvement ini tidak bisa direduksi semata ada dalam ranah kompetisi saja. Ia lebih dari soal kompetisi. Bahwa jika soal self-improvement ini bisa berujung pada lebih kompetitif-nya diri, adalah benar juga. Tetapi tetaplah tidak bisa kemudian dihayati semata soal kompetisi saja. Atau jika mengikuti hirarki kebutuhannya Maslow, ia ada di jalur ‘aktualisasi diri’ dengan ‘basis-materialnya’ adalah kapasitas diri. Terlebih dalam bidang ‘produksi’, dan bukan ‘konsumsi’. Self-improvement ini bisa menjadi salah satu ‘rute’ sehingga tidak bisa dengan begitu mudahnya terjerumus pada ‘alien-ation’.
Masalahnya, menurut Toynbee, semakin tinggi nilai semakin tinggi pula resistensinya, demikian pula sebaliknya. Atau dalam istilah Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu, sifat menerabas itu bisa-bisa akan lebih ‘dipilih’ daripada susah payah berkeringat. Atau godaan meremehkan mutu akan lebih menggoda daripada susah payah melakukan quality assurance secara ketat. Atau cuci tangan daripada bertanggung jawab. Lebih mudah asal njeplak daripada sebuah pesan jelas yang konsisten. Atau lebih enteng teriak-teriak ‘pro-ruakyat’ daripada berpihak secara kongkret.
Nasionalisme terlebih dalam esensinya sebagai nation-building adalah lebih bicara soal bangsa. Bangsa yang ada dalam ‘cangkang’ negara. Negara yang tidak bisa dipisahkan pada soal kekuasaan, soal power. Maka pada dasarnya, nasionalisme itu juga nation-state-building. Tidak jauh dari yang diungkap oleh Mangunwijaya, ‘kualitas’ bangsa bisa dilihat bagaimana ia mengelola masalah kekuasaan. Bagaimana sebuah komunitas mengelola ‘hasrat’ yang bergejolak dari segala penjuru. Dari sini pula kita bisa meraba keberimpitan soal prestasi seperti pendapat Sartono di atas, tidak hanya dalam soal nation-building, tetapi juga state-building, melalui prosedur-prosedur demokrasi.
Sayangnya, bertahun terakhir bukan nation-building yang kita rasakan, tetapi serasa nation-destroying, bahkan state-destroying. Nampaknya, karena hasrat-hasrat itu ‘gagal-dikelola’ dengan bermartabat. Karena terlalu banyak kaum medioker bertebaran. Plonga-plongo-banyak-lagak. Sok nasionalis. *** (24-08-2020)