12-08-2020
Paul Ricoeur dalam Lectures on Ideology and Utopia (1986) membahas pandangan-pandangan tentang ideologi dan utopia dari Marx, Karl Mannheim, Max Weber, Cilfford Geertz dan lain-lainnya. Dari bahasannya itu Ricoeur membedakan tiga ‘fungsi’ ideologi: sebagai layaknya camera obscura, sebagai legitimasi, dan berfungsi mengintegrasikan. Dalam praktek, ketiganya bisa bercampur-baur seperti halnya terjadi di satu republik.
Ideologi yang berfungsi sebagai camera obscura adalah ngibul-isme. Make America Great Again adalah ngibulnya Trump saat kampanye. Meski sama-sama sebuah janji, ideologi jelas lebih berbobot dari pada soal ngibul. Ngibul menjadi ngibulisme jika sudah ugal-ugalan. Ngibulisme adalah harapan yang dipermainkan. Sebagai camera obscura, khalayak diminta lebih menghayati apa-apa yang disajikan dalam bentuk janji-janji, dan tentu dengan harapan ‘melupakan’ realitas yang sebenarnya ada di sekitarnya. Karena seringnya memang janji-janji itu lepas dari realitas. Janji-janji menina-bobokkan yang sebenarnya bisa-bisa adalah justru untuk mempertahankan status-quo. Tetapi siapa yang tidak mau berurusan dengan harapan? Harapan yang hadir layaknya sebuah pulau kepastian di tengah gejolak samudera? Atau coba kita lihat besarnya bisnis yang terkait dengan ilusi dalam bermacam bentuknya. Man is essentially a story-telling animal, demikian Alaisdair McIntyre dalam After Virtue (1982).
Ideologi sebagai legitimasi kadang terhayati secara negatif, sebagai alat pukul. Dan memang sayangnya, segala ‘atas nama’ itu menjadi lebih efektif jika sebagai alat pukul. Lebih ber-adrenalin. Lebih membutakan. Lebih anti-dialog. Maka, lebih ‘tertutup’ sifatnya. Lebih rigid karena hadirnya apa yang bisa disebut dengan ‘legitimasi sekunder’. Lebih terinci sampai ke butir-butirnya, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak. Bahkan bagi yang diuntungnya dari legitimasi ‘tanpa batas’ itu maunya yang disebut sebagai ideologi itu supaya dihayati sebagai ‘agama sekuler’. Klaim ugal-ugalan-pun tanpa malu bisa tiba-tiba hadir terucap. Ideologi sebagai legitimasi dan alat pukul ini bisa juga dikatakan sebagai ideologi ‘tanpa ide’. Ide-ide yang muncul dalam dialog yang didorong oleh realitas yang berkembang. Atau potensial berkembang.
Bayangkan sebuah ideologi adalah sebuah angan, dan juga sebuah ‘tuntunan’ dalam bertindak. Bagaimana jika angan itu adalah sebuah kekayaan melimpah dan cara bertindak-nya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Inilah KKN-isme, yang terbangun sebagai sebuah ideology as cultural system. Tentu yang dimaksud Clifford Geertz dalam ideology as cultural system yang dibahas Ricoeur di atas bukanlah seperti itu. Maksudnya adalah jenis ideologi ketiga selain sebagai camera obscura, sebagai legitimasi, dan ketiga yang mengintegrasikan tindakan. Tetapi dalam praktek, sebuah rejim bisa-bisa juga mempraktek ideologi KKNisme ini. Mengapa tidak? Selama itu mengintegrasikan bermacam tindakan yang ada, bukankah juga itu akan menopang hidup suatu rejim? Dan setuju atau tidak, merasa muak atau tidak, KKNisme itu bisa menopang sebuah rejim sampai berpuluh tahun juga! Bangsat nggak?!
Jika mengikuti pembedaan Alvin Toffler tentang kekuatan kekerasan, kekuatan pengetahuan, dan kekuatan uang, bukankah segala ‘distorsi’ ketiga hal di atas jika berkoalisi akan dahsyat dampaknya? Sebuah ‘koalisi faustian’ yang ‘jenius’! Jadi .... what is to be done? *** (12-08-2020)