28-07-2020
Asal kata ‘konspirasi’ mirip-mirip dengan ‘inspirasi’ yang dalam bidang kedokteran berarti mengambil napas. Jika mengeluarkan napas: ekspirasi. Konspirasi dari asal katanya berarti ‘mengambil napas bersama’, kon=bersama. Dalam kelanjutannya kemudian berkonotasi negatif, persengkongkolan rahasia antara dua pihak atau lebih. Dalam kondisi semua-lawan-semua, state of nature-nya Thomas Hobbes, persekutuan-persekutuan memang sangat dimungkinkan. Jadi bayang-bayang akan adanya persekutuan rahasia itu bukanlah tanpa dasar sama sekali.
Orang bisa saja menyudutkan yang lain dengan, ‘orang kok teori thok’. Diulang-ulang terus seakan-akan teori itu menjadi pilihan kelas dua. Padahal antara teori dan tindakan itu bukanlah ranah pilihan, pilih A atau B, misalnya. Bukan seperti itu. Demikian pula jika ada yang bercerita ini-itu dan kemudian disudutkan, ‘ah itu kan teori konspirasi’. Seakan yang disebut dengan ‘teori konspirasi’ itu isinya nggedebus saja. Repotnya, memang yang banyak sekali nggedebus-nya, asal ngibul- saja. Banyak sekali ngawur-nya.
Tetapi beredarnya apa yang disebut sebagai teori konspirasi adalah juga fakta. Sama faktanya dengan beredarnya teori-teori non-konspirasi. Jika toh kategori itu dipakai. Sama faktanya dengan buku-buku para futurolog itu, sebuah scenario writing? Menghadapi bermacam fakta-fakta tersebut, maka sebaiknya kita ‘berhenti’ sejenak. Kita kadang tidak cukup hanya mengandalkan sikap alamiah, natural attitude, taken-for-granted lagi. Kita perlu menunda, men-suspend segala pra-anggapan, konsep mental yang ada sebelumnya, dan mendekati fakta, mendekati sesuatu itu sebagai ‘pemula’. Bahkan adanya pembedaan teori konspirasi atau bukan kita tunda dulu. Sebagai ‘pemula’ kita tidak mengenal apa itu teori konspirasi atau yang bukan. Sebagai ‘pemula’ kita back to the things themselves, kembali ke sesuatu itu dulu. Kita lihat dari bermacam sisinya, dari bermacam aspek-profilnya, dan kita kembangkan imajinasi-imajinasi kita. Kalau perlu kita komunikasikan imajinasi-imajinasi kita tersebut dengan orang lain. Siapa tahu dengan proses seperti itu kita bisa meraba esensi sebuah peristiwa, misalnya. Bisa salah, bisa benar, tidak masalah. Jika salah, kita ulang lagi prosesnya. Termasuk soal membuka kembali pra-anggapan yang sementara kita tunda dulu itu. Fenomenologi dalam praktek akan membantu proses-proses ini.
Intinya adalah, mau dikatakan konspirasi atau tidak, itu tidaklah penting ketika kita berproses back to the things themselves sebagai ‘pemula’. Ketika kita back to the things themselves dalam menghayati wabah ini, dan dengan semakin banyak fakta-fakta tentang proses penyebaran virus, maka jika ada yang mengatakan bahwa memakai masker tidaklah penting karena wabah adalah konspirasi, itu namanya keblinger. Mata buta yang tidak bisa melihat fakta sekitar dengan jernih lagi. Mungkin dibutakan bermacam hal, bisa uang, atau iming-iming lain. Atau buta karena ke-tidak-berpikir-an. *** (28-07-2020)