23-07-2020
Jika kita meminjam pembedaan antara perfect dan imperfect obligations dari Amartya Sen, nampaknya ini akan memperkaya bahasan soal kedaulatan. Jauh sebelum Sen membahas soal perfect dan imperfect obligations ini Immanuel Kant (1724-1804) telah membahas soal perfect duties dan imperfect duties.
Kitty Genovese berumur 28 tahun ketika ia meninggal di sekitar apartemennya setelah pulang kerja dini hari, 13 Maret 1964. Ia dirampok. Berteriak-teriak, tetapi tetangga-tetangganya yang mendengar tidak ada yang kemudian membantu atau menelpon polisi. Apapun tingkat kebenaran soal tetangga-tetangga yang diam saja mendengar teriakan minta tolong Genovese, dalam bermacam bentuknya kita sering menjumpai peristiwa-peristiwa sejenis.
Kasus Genovese di atas, menurut Amartya Sen (The Idea of Justice, 2009, hlm. 374-375) ada 3 hal yang saling terkait, pertama soal (hak) bebas dari kekerasan (menimpa Genovese) yang dilanggar, kedua, perampok yang sebenarnya berkewajiban untuk tidak melakukan penyerangan dan pembunuhan, dan ketiga, the others’ duty to provide reasonable help to a person facing assault and murder was also violated (a transgression of an ‘imperfect’ obligation). Jika kita lihat juga tahap-tahap perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg (1958) maka soal imperfect obligation ini bisa dibayangkan ada di level 3, post-conventional morality.
Kekerasan tidak hanya melulu berdarah-darah, atau verbal yang menyakitkan-menyudutkan, tetapi adalah juga ketika bermacam potensi terhalang pemekarannya. Itulah mengapa kita bisa memasukkan kolusi dan nepotisme sebagai satu bentuk kekerasan juga. Semestinyalah dasarnya adalah meritokrasi, tetapi dalam kolusi dan nepotisme meritokrasi sungguh dipinggirkan. Orang tidaklah akan memikirkan soal kolusi atau nepotisme jika prestasi di bidang itu misalnya, memang bisa dilihat banyak orang sungguh mak-nyus. Bahkan mak-nyos. Hanya orang ‘sirik’ yang akan terus mempersoalkannya. Orang memang tidak bisa memilih ia dilahirkan siapa, dimana, makanya prestasi, kemampuan-lah yang semestinya menjadi tolok-ukur, bukan ia dilahirkan siapa dan dimana. Ketika kekerasan yang dibawa oleh kolusi dan nepotisme itu mulai menampakkan ancang-ancang merebak, maka kualitas seorang pemimpin sebenarnya akan dilihat lebih dari sisi imperfect obligation-nya. Ia bisa saja berlindung pada hukum tertulis, ini adalah hak dijamin undang-undang, atau saya tidak bisa ikut campur dan seterusnya. Tetapi jelas juga pada level pimpinan bukan itu yang menjadi ‘tolok-ukur’ bagaimana kualitas akan dihayati oleh yang dipimpinnya. Tetapi lebih pada bagaimana ia bersikap dikaitkan dengan imperfect obligation itu. Bagaimana perkembangan moral-nya tidak hanya berkutat pada masalah legal atau tidak, misalnya.
Maka juga bisa dikatakan ada masalah ‘kedaulatan’ disana, selain kemampuan menalar juga. Dalam imperfect obligation sebenarnya mengandaikan adanya kebebasan disitu. Jika ia kemudian melanggar untuk melaksanakan imperfect obligation itu maka timbul pertanyaan, apakah kebebasannya terganggu? Ancaman mafia misalnya. Atau jika lapor malah jadi ruwet, misalnya. Atau karena hal lain. Atau memang kemampuan bernalarnya tidak memadai? *** (23-07-2020)