26-06-2020
37 tahun lalu ada gerhana matahari yang membuat republik panas-dingin. Terutama rakyatnya. Sirine meraung-raung, kentongan dipukul keras-keras, dan banyak orang mengunci diri di dalam rumah. Rumah yang ditutup rapat-rapat pintu dan jendelanya. Jika punya televisi, silahkan nonton di rumah saja. Tapi sebagian orang tidak melewatkan kesempatan emas untuk menikmati indahnya gerhana matahari total dengan bimbingan ahlinya. Sehingga tidak menjadi buta seperti yang didengung-dengungkan pada khalayak.
900 triliun rupiah adalah juga sebuah gerhana: penuh keindahan sekaligus dapat membutakan. Berapa saja keindahan yang bisa dibeli dengan uang sebanyak itu? Tentu sebagian besar akan dipakai untuk menyelamatkan ‘keindahan-keindahan’ yang dulu dapat dinikmati khalayak baik secara langsung atau tidak langsung. Keindahan yang menjadi buram karena lama salah urus ditambah dengan terjangan wabah akhir-akhir ini. Tetapi jika ada bagian (di)sisa(kan) lainnya yang masih saja jumlahnya segunung itu, tetaplah akan memberikan silau bagi banyak pihak. Silau penuh keindahan seperti layaknya gerhana matahari total 37 tahun lalu itu.
Banyak yang bilang ketika pergi ke Singapura tiba-tiba saja kebiasaan tidak tertib di sembarang tempat langsung terkikis. Tetapi ketika kembali ke tempat asal maka kembali pula ketidak-tertibannya. Karena di tempat asal memang sehari-hari masih menampakkan ketidak-tertiban dalam bermacam bentuknya. Maka bukanlah hal aneh atau mengada-ada jika ada pihak-pihak yang begitu khawatir gerhana 37 tahun lalu itu akan terulang terkait dengan ‘gerhana 900 T’ ini. Di suatu tempat dimana hikayat-cerita nyolong-ngunthet-ngutil-malak seakan tiada habis-habisnya itu.
‘Sirine’ kemudian meraung-raung ketika sebuah rancangan undang-undang mbèlgèdès itu di-soft-launching. Dan ketika ada bendera partai dibakar maka kentongan-pun dipukul bertalu-talu, tak kalah kerasnya. “Rapatkan barisan!” seru komandan. Serasa masuk dalam kondisi deja vu terhadap peristiwa 55 tahun lalu. Merah dan hijau yang saling bantai. Ujungnya? Selain gelap-kelamnya sejarah, ternyata republik yang kemudian dibagi-bagi! Lihat bagaimana 6 tahun kemudian muncul peta republik yang sudah dibagi-bagi konsensi minyaknya, di majalah The Times, 17 Agustus 1971. Yang dua tahun kemudian terjadi krisis minyak dan melanjut dengan naiknya harga minyak. Bagi penghasil minyak saat itu: oil boom! Era petrodollar sebagai penyangga utama keperkasaan dollar AS-pun mulai.
Bentrok adalah soal ‘hard-power’. Coba lihat juga di luar bentrok, bagaimana soal ‘lomba video new normal’ atau penerimaan siswa dengan logika ‘urut-kacang-urut-tua’ itu. Mengapa hal itu seakan menjadi begitu penting untuk dihadirkan di depan publik? Dan bermacam yang bisa masuk kategori ‘soft-power’ itu bertebaran di mana-mana. Omongan asal njeplak yang terus berulang, misalnya. Atau juga si-A omog X, si B omong Z atau bahkan –X. Tanpa beban, tanpa otak. Bikin gatal yang semakin gatal jika digaruk. Dan jika direnung-renungkan, dengan biaya-biaya sosial termasuk bermacam kesempatan masa depan yang meredup, juga itu semua ikut dihitung, bisa-bisa kita tidak hanya sedang berurusan dengan gerhana 900 T. Bisa lebih, jauh lebih besar. Bagi khalayak: sudah jatuh tertimpa tangga, tangga yang akan menghimpit bertahun-tahun kemudian. Sedang bagi mereka, sekali dayung dua-tiga pulau terlewati. Lalu siapa yang akan diuntungkan dengan segala panas-dingin itu, dengan segala tontonan kedunguan itu? Republik seperti apakah yang kita punyai bersama sekarang ini? Jangan plonga-plongo saja ... Atau mau dicoba bicara pada rakyat dengan pakai masker berkarakter mèlèt itu?! Biar komplit ona-anu-nya.
Yang sungguh tidak boleh lolos dari per-hati-an adalah soal kambing hitam. Kambing hitam yang sering dimunculkan dan dikorbankan demi menurunkan tensi rivalitas. Lihat apa yang terjadi di demo anti-rasial di AS setelah terbunuhnya George Floyd. Enerji massa yang bisa berbuat apapun itu tersalurkan pada bermacam patung yang ada di sekitar. Pada titik tertentu, ‘ketidak-berpikiran’ massa yang semakin membesar di ujung itu mendapatkan pelampiasannya pada patung-patung tersebut. Atau, masing ‘untung’ ada patung-patung tersebut yang seakan menjadi kambing hitamnya? Jika patung-patung itu bisa bicara, mungkin mereka akan menirukan alm. Gepeng: untung ada saya.
"Our commitment to religious freedom must be unshakeable," demikian dikatakan Obama 10 tahun lalu menanggapi kontroversi rencana pembangunan Islamic centre di dekat ground zero, tempat Twin Towers runtuh pada peristiwa 9/11. Obama saat itu menekankan apa yang menjadi jiwa awal dari kemerdekaan AS. Dengan ketegasan Obama baik sebagai warga negara atau sebagai presiden itu –yang dikatakannya sendiri, kontroversi-pun perlahan melenyap. Maka peran pemimpin sangatlah penting di sini. Bukan pertama-tama karena ia memiliki sumber daya yang paling banyak, tetapi adalah karena ia menjadi ‘model’ bagi khalayak. Saat itu yang menjadi hasrat Obama (O-obyek) adalah semangat atau nilai-nilai dasar mengapa AS merdeka, dan Obama (sebagai M-model) menunjukkan bagaimana ia begitu berhasratnya pada O tersebut. Dalam ‘perang model’ Obama saat itu memenangkannya dan berhasil menggeser hasrat yang semula pada kebencian terkait peristiwa 9/11, bergeser pada semangat jati diri awal kemerdekaan AS.
Akan berbeda jika ‘kualitas Obama sebagai model’ waktu itu sudah mengalami bermacam defisit seperti dialami oleh Donald Trump saat menghadapi demo anti-rasialis akhir-akhir ini. Jika seorang pemimpin apapun sebab dan prosesnya telah mengalami defisit kepercayaan yang parah dan sudah jauh untuk sebagai model bagi khalayak, maka khalayak-pun akan memilih model-model-nya sendiri. Memilih ‘minoritas-kreatif’-nya sendiri-sendiri. Bahkan jika ada model yang muncul dari lembah hitam-pun bisa-bisa akan diikutinya tanpa berpikir lagi, terutama ketika telah berubah menjadi ‘manusia-massa’. Chaos, dan akibatnya bisa-bisa kita tidak mampu membayangkan lagi. Kita pasti tidak mau itu terjadi (lagi). Dan, siapa yang diuntungkan dari sejarah-sejarah gelap kita? Kang Marhaen? Wong Cilik? Umat? Rakyat kebanyakan? Pengusaha kecil-sedang-besar yang banting tulang? Kaum profesional yang tekun? Nampaknya bukan. Rapid test saja masih harus bayar, cuk! Bensin juga kagak turun-turun, tuh .... *** (26-06-2020)