23-06-2020
Apa yang bisa kita kembangkan terkait dengan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’ di tengah-tengah ‘demokrasi pasar’ ini? Demokrasi pasar yang menghayati pemilih semata sebagai konsumen. Demokrasi pasar yang lebih condong dipimpin oleh elektabilitas. Padahal maunya founding-fathers, dipimpin oleh ‘hikmat kebijaksanaan’, bukannya elektabilitas.
Apakah kemudian pembicaraan harus dibawa ke soal individualisme-liberalisme atau kolektivisme-gotong royong? Atau ini kita ‘tunda’ dulu, dan kita bisa bertanya dulu, siapa itu rakyat? Siapa itu yang ber-‘hikmat kebijaksanaan’? Dan siapa itu yang bermusyawarah atau yang sebagai wakil? Dari tiga pertanyaan terakhir dengan cepat kita bisa meraba bahwa kita sedang bicara soal manusianya. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945, kita tegaskan bicara soal manusia. Bukan manusia yang jumawa merasa paling gagah sendiri di dunia, tetapi manusia yang sesadar-sadarnya bahwa tanpa ‘berkat rakmat Allah Yang Maha Kuasa’ ia tidak akan mampu menyatakan kemerdekaannya.
Sila-sila dalam Pancasila tidak bisa dihayati satu-per-satu terpisah dengan lainnya. Merupakan satu kesatuan, dan sekaligus melekat erat sebagai kesatuan utuh dalam Pembukaan UUD 1945. Makanya soal ‘hikmat kebijaksanaan’ ini juga tidak bisa lepas dari jiwa sila-sila lainnya. Jika kita lihat dari kacamata keutamaan (virtue), maka sebenarnya sila-sila dalam Pancasila lekat dengan keutamaan utama (cardinal virtues). Hikmat kebijaksanaan dekat dengan keutamaan prudence, sophia. Kemanusiaan yang adil dan beradab dekat dengan kemampuan menahan diri, self control atau keutamaan temperance, sophrosyne. Persatuan Indonesia dekat dengan keutamaan keberanian, courage, andreia. Keadilan sosial jelas dekat dengan keutamaan justice, dikaiosyne. Dan keutamaan-keutamaan manusiawi itu ada dalam diri manusia yang menghayati adanya Tuhan Yang Maha Esa. Yang tanpa rahmat dari Allah, semua tidak akan mewujud.
Ketika sebuah dahan pohon tergeletak di depan, kita masih bisa menghayatinya sebagai sebuah dahan, meski ia sudah lepas dari pohon induknya. Tetapi meski warna hijau bisa kita pelajari dari panjang gelombangnya misalnya, kita hanya bisa menghayatinya ketika ia menempel, melekat pada sesuatu. Entah itu melekat di tembok, kursi, peralatan, atau lainnya. Bagaimana kita menghayati adanya Pancasila? Dengan sila-silanya yang digantung di depan kelas? Dengan setiap upacara yang dibacakan dengan lantang? Dan diakhiri dengan tangan terkepal sambil teriak: pro-ruakyaaat itu?
Ada masanya ada yang berpendapat bahwa Pancasila bisa dihayati jika setiap hidung di republik hapal Pancasila, dan butir-butir pelaksanaannya. Diadakanlah penataran ini penataran itu, dan bermacam lagi. Kurikulum ini kurikulum itu. Lupa bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 yang di alinea akhir dijumpai sila-sila Pancasila, sedang bicara soal negara dan pemerintahannya. Maka sebenarnya pertama-tama Pancasila adalah soal negara. Soal bagaimana negara harus berjalan dan diarah-tujukan. Soal manusia-manusia kongkret yang sedang mengelola negara itu keputusan dan tindakan politiknya adalah berdasarkan Pancasila. Dan dari situlah, dari keputusan dan tindakan politik dari pengelola negara maka Pancasila sebenarnya baru bisa dihayati. Bagaimana dengan rakyat? Rakyat cukup dengan taat perundangan maka ia sebenarnya sudah melaksanakan Pancasila. Bahkan jika ia grothal-grathul saat menyebut Pancasila dengan lengkap. Lalu bagaimana jika ditemui keputusan dan tindakan dari pengelola negara yang mbélgèdès? Maka bagi rakyat, Pancasila adalah juga ‘ideologi kritis’, untuk melakukan kritik pada pengelola negara. Dan alarm yang paling peka biasanya adalah soal ke-tidak-adilan. Soal cita (hal rasa-merasa) keadilan.
Jika kita kembali pada bahasan cardinal virtues di atas maka kalau boleh kita berimajinasi, negara dengan dasar Pancasila itu mestinya akan dikelola oleh orang-orang yang mempunyai keutamaan-keutamaan yang ada dalam nilai-nilai Pancasila ditambah dengan penuh kerendahan hati bahwa tanpa rahmat dari Allah Yang Maha Esa semua usaha tidak akan mewujud. Bagi Adam Smith, ‘dunia pasar’-pun juga perlu adanya ‘keutamaan’. Tetapi ‘keutamaan’ yang ada adalah sebatas kepantasan saja. Sebatas itu yang berdampak bagi keinginan dalam melangsungkan hidup. Ditulis oleh B. Herry-Priyono, “sekedar sikap hati-hati (inferior prudence) sudahlah cukup. Inilah gugus moralitas yang “sekedar diarahkan pada urusan kesehatan, pencarian rejeki dan harta, serta status dan reputasi individual”. Moralitas orang biasa adalah moralitas yang lebih tertuju pada “pemuasan hasrat alamiah” dalam rupa “harta material,” dan untuk tujuan itu ia mengejar “pengetahuan dan ketrampilan praktis dalam kerja dan perdagangan, rajin dan tekun dalam melakukannya, hemat dan bahkan kikir dalam pengetahuan.”[1] Demikian B. Herry-Priyono dengan beberapa kutipan dari The Theory of Moral Sentiments (1759). Smith membedakan dengan tajam antara ‘keutamaan’ (virtue) dan ‘sekedar kepantasan’ (mere propriety); antara kualitas dan tindakan yang patut dikagumi serta disanjung, dan kualitas serta tindakan yang sekedar patut disetujui. “Sekedar kepantasan” adalah moralitas orang biasa, sedangkan “keutamaan” adalah moralitas “sekte unggul” (the famous sect).[2] Dalam catatan kaki Herry-Priyono menegaskan bahwa pembedaan ini tidak ada kaitannya dengan kelas-kelas sosial.[3]
Tetapi jika kita bayangkan bahwa di dalam nilai-nilai Pancasila itu kita bisa meraba bermacam keutamaan utama, maka bisa kita bayangkan juga bahwa supaya Pancasila dapat sebagai dasar dalam mengelola negara memang diperlukan pula orang-orang yang mempunyai keutamaan-keutamaan utama tersebut di atas. Katakanlah republik memang membutuhkan orang-orang ‘sekte unggul’ jika meminjam istilah Adam Smith. Tentu ini adalah yang ideal. Tetapi itulah yang kita inginkan. Kalau ketidak-adilan merupakan alarm deteksi dini ketika Pancasila diselewengkan oleh pengelola negara, maka ketika ada ‘calon pemimpin-pengelola negara’ yang jauh dari keutamaan-keutamaan di atas mestinya alarm deteksi dini kita juga sudah bunyi. Garbage in garbage out. (Calon) pemimpin yang seperti itu pagi-pagi harus sudah dibuang ke got.
Tentu jika bicara hak, katakanlah semua mempunyai hak yang sama untuk berkompetisi. Maka itulah salah satu guna adanya partai politik. Dia akan mempersiapkan kader-kadernya bukan pertama-tama soal elektabilitas, tetapi adalah untuk menumbuh-kembangkan keutamaan-keutamaan utama di atas. Dalam tradisi konfusius dikenal adanya shangshangce, jika memilih pemimpin pilihlah yang terbaik dari yang terbaik. Itu sangatlah benar, bagaimanapun rakyat berhak untuk memperoleh pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Bahkan jika itu anak presiden atau mantan presiden sekalipun, ia harus bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah yang terbaik dari yang terbaik. Bukan semata masalah elektabilitas yang itu sangat bisa dimanipulasi sedemikian rupa. Tentu soal elektabilitas juga perlu diperhitungkan, tetapi pertama-tama adalah, sekali lagi, apakah ia mempunyai keutamaan-keutamaan yang secara implisit ada dalam nilai-nilai Pancasila itu? Dan kadang dari hal-hal kecil justru kita bisa menilai. “The evil always comes from details,” kata Henning Mankell.
Tentu memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik, pemimpin berkeutamaan hanyalah satu dari sekian upaya. Tetapi bahkan ketika rute ‘hasrat vs hasrat’-pun (lihat ranah hasrat vs hasrat yang akan dilakukan oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, pers, dan masyarakat sipil, misalnya) dia memerlukan pemimpin-pemimpin yang terbaik dari yang terbaik, di masing-masing pihak. Mimpi? Tidaklah, dibanyak tempat kemajuan dapat ditapak dengan lebih cepat karena salah satunya tidak pernah main-main dalam rekrutmen pemimpin-pemimpinnya. Mereka yang mengalami percepatan dalam kemajuan itu, tidak akan pernah berpikir sekalipun orang-orang seperti Ngabalin, Fajroel, dan peer group-nya misalnya, tampil atau ditampilkan untuk dikonsumsi publik. Juga yang plonga-plongo dan glècènan. Tidak, tidak pernah! *** (22-06-2020)
[1] B. Herry-Priyono, Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial, Jurnal Diskursus, Vol 6 No. 1, April 2007, hlm. 11
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm 30