20-06-2020
“Before Hurricane Katrina, the school board had run 123 public schools in the city, now it can ran just 4. Before that storm, there had been 7 charter schools in the city, now there were 31,”[1] demikian ditulis Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007). Badai Katrina yang meluluh-lantakkan New Orleans itu terjadi 15 tahun lalu, 29 Agustus 2005. Saat itu Mas Menteri Nadiem masih berusia 20 tahun. Ditulis juga oleh Naomi Klein terkait dengan salah satu pandangan Milton Friedman, salah satu guru neoliberalisme, dan ‘bapak’ dari para Chicago Boys yang terlibat dalam kudeta Allende (Cile) di tahun 1973. Friedman mengobservasi bahwa, “only s crisis –actual or perceived- produces real change.” Jika kebanyakan orang dalam menghadapi bencana ia akan mempersiapkan bahan makanan dan air, tetapi bagi Friedman yang dipersiapkan adalah ide-ide pasar bebas, demikian ditulis Naomi Klein.[2]
Fokus tulisan ini adalah pada soal charter school yang merebak setelah Badai Katrina. Soal privatisasi pendidikan. Yang tiba-tiba saja terlintas saat ILC yang membahas RUU HIP, salah satu pembicara menyinggung soal pasal pendidikan yang tidak sinkron dengan UU, yaitu lebih pada soal skill atau ketrampilan saja. Jika kita lebarkan imajinasi kita, maka tiba-tiba saja itu terhubung dengan ‘Pendidikan Merdeka’ yang dilempar oleh Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan. Tidak jauh berbeda dengan charter school pasca badai Katrina di New Orleans yang ‘kampanye’nya tidak jauh-jauh amat dari kata ‘merdeka’ dalam ‘pendidikan merdeka’-nya Nadiem: yaitu soal choice.
Masalahnya sejak semakin banyaknya model charter school ala neoliberalisme itu di berbagai tempat, semakin banyak pula kritik yang muncul. Bahkan sejak tahun 2018, New Zealand resmi menghentikan program charter school ini. Menurut Menteri Pendidikan New Zealand waktu itu di awal Februari 2018, charter school lebih “were driven by ideology rather than evidence.”[3] Dari penelitian juga didapatkan output dibanding dengan sekolah konvensional justru charter school mutunya ada di bawah.
Pembiayaan charter school ini adalah dari negara (pada awalnya, atau juga seterusnya?), dari pajak-pajak yang dikumpulkan dari para warga negaranya. Tetapi pengelolanya adalah swasta-private. Dengan kurikulum ‘merdeka’-nya masing-masing. Seperti lapak-lapak di supermarket, maka orang tua ‘bebas memilih’, mereka ‘merdeka memilih’ yang mana saja sesuai dengan yang diharapkan. Dan tentu ada orientasi profit dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dari bermacam laporan dari berbagai negara, charter school ini ternyata masih jauh dari harapan jika dibanding dengan ‘sekolah konvensional’ yang sebenarnya juga tak kalah dalam inovasi-inovasinya. Pengalaman pendidikan dasar di Finlandia adalah bukti bagaimana yang dsebut ‘sekolah konvensional’ itu bisa juga begitu inovatif dan mampu menghasilkan output yang bagus.
Maka pada dasarnya, jualan Mas Menteri Pendidikan adalah jualan ‘barang rongsokan’. Bukan esensi masalah pendidikan yang coba dibedah dan didialogkan secara luas, tetapi sekali lagi: jualan. Privatisasi, komodifikasi. Tetap saja Mas Menteri itu bagian dari proses-proses accumulation by dispossession seperti sudah disinggung dalam tulisan-tulisan sebelum ini.
Sadarkah kita bahwa republik sedang dikelilingi oleh para EHM itu?[4] Economic Hit Man/Woman itu? Cobalah telisik satu-persatu, mulai dari yang mantan menteri periode terdahulu, ‘menteri terbalik’, sampai pada ‘mas menteri’ ini. Dan yang lainnya, entah sebagai menteri-wakil menteri, komisaris, staf khusus, direksi BUMN, partai, legislatif, dan banyak lagi. Belum lagi kita bicara soal pemburu rente, oligarki, mafia. Yang banyak ‘kolaborasi’-nya sudah menempatkan sekarang ini, republik yang sedang dirampas habis-habisan! *** (19-06-2020)
[1] Naomi Klein, The Shock Doctrine. The Rise of Disaster Capiatlism, Metropolitan Books, 2007, hlm. 5
[2] Ibid, hlm. 6
[3] https://www.ei-ie.org/en/detail/15718/new-zealand-government-announces-end-of-charter-schools
[4] https://www.pergerakankebangsaan.
com/562-Economic-Hit-Man/Woman/