14-06-2020
Adolf Eichmann menjadi anggota Nazi pada umur 26, satu tahun sebelum Hitler naik ke puncak kekuasaan di usia 44 tahun. Dua tahun setelah Hitler berkuasa, atau empat tahun sebelum Perang Dunia II pecah, Eichmann pindah ke departemen yang mengurusi masalah imigrasi orang-orang Yahudi. Setelah Perang Dunia berakhir, Eichmann melarikan diri ke Argentina, dan ditangkap bulan Mei 1960, kemudian dibawa ke Israel untuk diadili atas kekejamannya dalam holocaust selama Perang Dunia II. Persidangan bagi Eichmann digelar antara April-Desember 1961. Mei 1962 ia dihukum mati, digantung.
Hannah Arendt mengikuti persidangan itu secara intens dan tulisan-tulisannya terkait dengan persidangan dimuat di majalah The New Yorker, 1963.[i] Yang kemudian terbit dalam bukunya, Eichmann in Jerusalem, A Report On the Banality of Evil, terbit di tahun itu juga, 2 tahun sebelum peristiwa 1965 di republik. Banality of evil adalah hal penting bahkan sentral dalam laporan Hannah Arendt itu. Banality of evil ini dalam banyak hal dekat dengan ‘ketidak-berpikiran’. Hampir 70 tahun sebelumnya, Gustave Le Bon-pun sudah mengulas soal ‘incapacity to reason’ dari si-manusia massa. Tetapi bagaimana mungkin ‘ketidak-berpikiran’ itu begitu merebaknya di suatu masyarakat yang sudah mampu membuat pesawat tempur saat itu?
Kita bisa begitu geramnya ketika ISIS atau Taliban pada waktunya, ketika bermacam situs sejarah-pra-sejarah dihancurkan atas nama ini-itu, atau karena itu dianggap simbol dari penyembahan berhala. Tetapi hari-hari ini kita juga bisa melihat dari tayangan televisi atau di internet, bagaimana patung-patung itu dihancurkan oleh massa atas nama anti-rasisme, atau karena itu sebagai simbol rasisme. Di Amerika dan Eropa sana. Di komunitas yang tidak hanya mampu membuat pesawat tempur, tetapi bahkan sudah mampu mengirim manusia ke luar angkasa. Maka tidak heran paling tidak dalam tayangan di Euronews beberapa waktu lalu, dipertanyakan soal pendidikan sejarah.
Pendidikan memang akan mempunyai peran penting jika dikaitkan dengan peristiwa yang menjadi berita terkait dengan rasisme itu. Bersamaan dengan terbitnya laporan Hannah Arendt terkait dengan persidangan Eichmann, Stanley Milgram merilis hasil sementara dari percobaannya di tahun 1963 juga. Yang secara komplet terbit dalam bukunya Obedience to Authority (1974). Dari percobaan Milgram itu ternyata dtunjukkan pula bagaimana bahkan yang berpendidikan tinggi-pun bisa berlaku ‘kejam’. Dua hal yang paling tidak perlu diperhatikan, pertama, yang diteliti itu merasa bahwa penelitian itu untuk tujuan baik, dan kedua, peran pengamat yang akan ambil peran aktif ketika yang diteliti itu menjadi ragu-ragu.
Ada guru dan murid, dan ‘pengamat/pendamping’ percobaan. Guru (yang diteliti) akan memberikan pertanyaan pada murid (aktor), dan jika salah akan diberi ‘sengatan listrik’ (pura-pura), dan murid yang aktor itu akan juga pura-pura kesakitan. Jika salah lagi, ‘voltase’ sengatan akan dinaikkan, dan seterusnya sampai murid (aktor) pada sengatan ‘tertinggi’ mengiba-iba untuk dihentikan. Jika si-guru (yang diteliti) ragu-ragu untuk menaikkan sengatan, si-pengamat akan meyakinkan bahwa itu tidak apa-apa dan seterusnya. Dari percobaan semacam itulah kemudian ditemui bahkan orang-orang biasa, atau guru-berpendidikan, bahkan pendeta sekalipun mau sampai ‘tega’ memberikan sengatan tertinggi. Demikian kira-kira percobaan Milgram di awal tahun 1960-an itu.
Dari tayangan televisi, beberapa pihak yang diwawancari setelah penghacuran patung-patung itu menyatakan ketidak-setujuannya. Salah satu profesor sejarah kulit hitam mengatakan ia tidak setuju penghancuran patung tokoh jaman dulu yang lekat dengan cerita kolonialisme itu. “Yang kita lawan itu rasisme-nya,” katanya. Dan patung-patung itu bisa menjadi pengingat akan peristiwa masa lalu. Suatu pernyataan yang perlu didukung. Tapi bagaimana jika ia ikut di lapangan saat itu dan larut dalam denyut massa? Tetap ada dua kemungkinan ketika ia tidak-berjarak, ia ikut bertepuk tangan atau berusaha mencegah, atau diam saja sambil mengerutkan dahi.
Jika kita memakai teori segitiga hasrat-nya Rene Girard, ke-tidak-berjarak-annya itu bisa menjadi faktor penting. S (subyek) akan berhasrat pada O (obyek) melalui proses meniru dari M (model) yang juga menghasrati O. Tidak jauh dari logika iklan yang mengambil selebriti sebagai model iklannya. Tetapi jika M itu ada dalam jangkauannya (katakanlah: model internal), ia pada titik tertentu justru akan menjadi semacam ‘rival’-nya. Maka supaya ‘tatanan’ tetap terjaga ketertibannya diperlukanlah apa yang disebut sebagai kambing hitam itu. Rivalitas antara S dan M itu disalurkan pada si-kambing hitam. Model selebriti yang di iklan itu bisa dikatakan bukan model internal, ia lebih sebagai model eksternal karena jaraknya. Makanya, selain modus keberulangan yang bertubi-tubi, kadang ‘jumpa darat’ juga diperlukan. Televisi dan media lain juga seakan mendekatkan si-model pada khalayak.
Ketika kita masuk rumah, bau tertentu seakan menyedot perhatian kita. Dan pada saat yang sama serta-merta terbayang udang goreng lezat. Hanya bagian bau dari udang goreng saja yang sampai pada reseptor di hidung. Kita belum melihatnya, belum merasakan, atau merabanya, tetapi (pada saat itu juga) secara keseluruhan kita sudah menyimpulkan bahwa itu udang goreng. Bahkan respon air liur yang mengumpul-pun sudah terjadi. Setelah sampai dapur, kita melihat, atau bahkan mencicipi, bisa saja itu benar udang goreng, tetapi bisa saja tidak. Sebagian besar hidup kita dijalani dengan’modus’ seperti ini. Segala pendidikan, pengalaman, interaksi ngobrol-diskusi, baca atau nonton ini-itu, dan bermacam lagi, akan membangun intuisi kita, dalam hal ini intuisi terkait dengan udang goreng. Akan melelahkan jika apa-apa kita berhenti dulu untuk memikirkan apa benar itu udang goreng? Apa benar warna hijau itu berarti jalan? Merah berhenti? Dan seterusnya. Hidup lebih mudah dijalani jika taken for granted saja. Biarkan intuisi dalam pengertian di atas yang bekerja.
Tetapi jelas juga bahwa dalam hidup kita pastilah suatu saat akan bertemu atau ada dalam situasi yang mesti dihadapi tidak dengan modus taken for granted itu. Bermacam ‘prasangka’ yang ngendon sebagai ‘konsep mental’ kita tunda dulu, kita beri tanda kurung dulu, dan kemudian kita back to the thing themselves sebagai pemula. Dengan bau yang kemudian bisa sampai menyimpulkan bahwa itu udang goreng kita tunda dulu. Kita dekati, kita lihat-raba, kita bau lagi, kita cicipi, atau kalau perlu kita diskusi imajinasi-imajinasi kita yang berkembang dengan yang lain sebelum sampai pada kesimpulan bahwa itu udang goreng. Tanda kurung kita buka lagi, dan ternyata ‘terpenuhi’. Bahkan mungkin perlahan kita bisa mendekati esensi dari sesuatu itu. “Yang kita lawan itu rasismenya,” demikian kata profesor seperti di atas sebagai contoh.
Tahun 1968, Hilfred Geertz menerbitkan buku hasil penelitiannya di Jawa, Latah in Java, A Theoretical Paradox, yang sebelumnya ia melakukan penelitian di Jawa Tengah bagian timur selama 2 tahun, 1952-1954.[ii] Bisa dibayangkan bagaimana ketika ‘politik sebagai panglima’ saat itu, dengan ke-latah-an yang masih banyak di desa-desa. Dengan kemiskinan yang masih membelit begitu banyak warganya. Dengan modus komunikasi masih man-to-man yang masih didominasi oleh oralitas. Oralitas-mendengar yang menurut Walter J. Ong lebih akan lebih mempersatukan dibanding melihat-membaca. Bahkan sampai 10 tahun setelah penelitian Hilfred Geertz itu. Bagaimana jika dalam kondisi seperti itu kemudian di satu pihak dihembuskan bahwa ‘mereka-orang-orang-itu’ adalah orang-orang yang meyakini: religion is the opium of society. Di pihak lain dihembuskan kata-kata merendahkan, seperti kodran-kadrun itu, radikal-radikul, misalnya. Ditambah lagi situasi Perang Dingin yang sedang memuncak. Maka sejarahpun kemudian mencatat, kelamnya korban berjatuhan di kedua-belah pihak. Mengerikan. Deja vu?
50 tahun lalu muncul peta republik yang sudah dibagi-bagi konsensi minyaknya dalam The Times 17 Agustus 1971, [iii] akankah ‘balkanisasi’ untuk jaman now? *** (14-06-2020)
[i] https://www.newyorker.com/magazine
/1963/02/16/eichmann-in-jerusalem-i
[ii] Jurnal Indonesia, Cornell University, April 1968, hlm. 93
[iii] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Vol.1 Hlm 89