06-06-2020
“Suatu penelitian mengenai sejarah kesusasteraan Inggris telah membuktikan bahwa perkembangan ekonomi Inggris dan peningkatan kemakmuran masyarakat Inggris dalam pertengahan abad ke-18 itu diawali suatu periode selama beberapa dasawarsa di mana kesusasteraan, bacaan rakyat, dan cerita-cerita rakyat Inggris itu diisi oleh tema-tema yang berorientasi terhadap achievement yang tinggi,” demikian ditulis Koentjaraningrat hampir lima dasawarsa lalu. (Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, hlm. 77) Jika cerita-cerita bertema ‘achievement yang tinggi’ itu adalah bermain di ranah kesadaran, bukankah dia sedang berjalan dengan kepala di bawah? Terbalik? Bukankah realitaslah yang menentukan kesadaran? Tetapi benarkah kesadaran itu semata hanya ditentukan oleh realitas yang ada? Apakah kesadaran itu semata semacam filling cabinet saja? Dimana yang namanya ideologi misalnya, terus itu kemudian hanya sekedar camera obscura yang justru mendistorsi realitas? Selain pengaruh realitas yang ada, apakah ada ‘sifat aktif’ dari kesadaran juga?
Clotaire Rapaille dalam The Culture Code (2007) menceritakan bagaimana saat ia diminta sebagai konsultan untuk memasarkan kopi di Jepang. Yang sebelumnya menemui kegagalan karena kebiasaan minum teh yang kuat di sana. Clotaire mengambil jalan ‘melingkar’, ia memasukkan rasa kopi dulu di biskuit-biskuit, permen dll. Ia ingin supaya kode kultural soal rasa kopi ini ter-imprint dulu di otak masyarakat Jepang. Selang bertahun kemudian, barulah pemasaran kopi dilakukan, dan dengan cepat gerai-gerai Starbuck terus bertambah. Tentu ada faktor ‘sihir’ Starbuck yang sudah terbangun, tetapi tanpa kode-kode kultural rasa kopi akankah pertambahan gerai-gerai itu akan sedemikian cepatnya?
Tentu realitas akan sangat-sangat berpengaruh terhadap kesadaran, tetapi sedikit hal di atas menunjukkan bahwa ada sisi aktif dari kesadaran juga. Sisi aktif kesadaran dari Engels yang majikan itu, membuat ia bisa begitu akrabnya dengan Marx, misalnya. Engels yang lahir dua tahun setelah Marx itu mungkin saja tertanam dalam dirinya ‘kode-kode kultural’ segala gerak atau passion dari ‘sosialisme utopia’ yang menggeliat sebelum ia dan Marx lahir.
Ketika kesadaran kita ‘tersedot’ pada bangunan yang ada pintu dan kanan-kirinya jendela, kita sebenarnya tidak hanya melihat dari sisi depan itu. Tapi pada saat bersamaan, dengan bermacam konsep-mental yang ada sebelumnya, juga dari baca buku dan gambar, dari pengalaman-pengalaman kita, dan banyak lagi, kita juga bisa kemudian berpikir bahwa (keseluruhan bangunan) itu adalah rumah. Saat itu juga. Taken for granted. Sebagian besar kita menjalani hidup dengan modus seperti itu. Meski bisa saja ketika kita mendekat dan membuka pintu, atau melihat dari sisi samping, ternyata itu bukan rumah tetapi properti yang ada di lokasi pembuatan film saja. Hanya depannya saja.
Bagaimana jika dongeng-dongeng waktu kita kecil lebih sekitar ‘Kancil Nyolong Timun’, atau dongeng dalam satu malam sekian ratus bangunan dapat berdiri tanpa harus berpeluh-keringat? Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu menulis tentang beberapa hal yang kurang mendukung jalannya pembangunan. Antara lain, (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) mentalitas suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (hlm. 45) Tentu setelah 50 tahun berjalan, tidak sedikit yang ketika bekerja di tempat dan dituntut soal ke-lima hal di atas (kontra-nya) akhirnya mampu keluar dari bayang-bayang mentalitas seperti disebut Koentjaraningrat di atas. Masalahnya adalah ‘percepatan’ dan faktor ‘psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan’.
Margaret Thatcher di tahun kedua pemerintahannya, 1981, dalam wawancara menandaskan bahwa ‘economics are the method: the objects is to change the soul.’ Welfare state pasca Perang Dunia II yang membuat ‘manja’ itu –menurut Thatcher, manusia-manusianya perlu digarap jiwanya sehingga mempunyai jiwa petarung dalam survival of the fittest di dunia pasar bebas neoliberalisme. Lepas apakah Donald Trump adalah prototipe ‘petarung’ ala konservatif seperti dimaksud Thatcher 40 tahun lalu bukan maksud tulisan ini. Tetapi jika kita memakai ‘siklus Kondratieff’, mereka sama-sama ada di area dimana ekonomi sedang menuju siklus menurun. Dan apakah siklus itu akan naik didorong oleh segala macam produk kesehatan sebagai ujung tombak lokomotif nantinya? Biar ahli ekonomi yang menjawab.
Yang dimaksud dengan ‘psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan’ adalah seperti yang dikatakan Arnold J. Toynbee, semakin tinggi nilai dari kebudayaan tersebut maka semakin sulit menembus pada yang lain, tetapi semakin rendah nilai kebudayaannya, semakin gampang ia diterima. ‘Budaya’ yang meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh akan lebih ‘menggoda’ dari kebalikannya. ‘Budaya’ sex bebas misalnya, lebih mudah diserap dari pada tekun berpikir. Maka untuk kebaikan bersama, hal di atas sebaiknya menjadi perhatian semua pihak, dan terutama di sini adalah si-pemegang kekuasaan. Apalagi dalam komunitas dengan power distance tinggi seperti di republik.
Ketika ada pihak-pihak entah siapa itu, yang bermaksud melakukan pe-medioker-an bangsa yang hidup di republik ini, maka salah satu cara efektif selain mengurangi mutu dongeng (dan pendongengnya) pada anak-anak kita, ditampilkanlah ‘elit-elit’ di lingkaran kekuasaan yang juga kelasnya kelas medioker. Retorikanya-pun kemudian kelas medioker juga. Apa yang terjadi sekarang ini adalah seperti itu. Atau yang terpaksa jadi medioker karena tersandung-tersandera kasus. Tentu ada yang jelas berkualitas dan lolos dari jeratan sandera kasus, tetapi jumlahnya terlalu sedikit.
Mengapa dongeng dan pendongengnya? Bukankah buku-buku dongeng banyak tersebar di toko-toko buku? Atau di perpustakaan? Selain sebaiknya dongeng berkualitas itu diakrabkan sejak usia dini, dongeng yang disampaikan secara oral-bahasa tubuh dalam modus face-to-face itu akan lebih baik. Jauh lebih baik, terlebih ketika begitu merebaknya dunia on-line seperti sekarang ini, tatap-muka secara langsung sungguh suatu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Jangan sampai juga nantinya dongeng yang berkembang: ‘Hikayat Mobil Isimki’, misalnya, atau ‘Pinokio Dadi Ratu’, atau ‘Anak-mantunya Pinokio Jadi Walikota’, dan sejenisnya. Piyé Mas Menteri? Ojo plendas-plendus waé! Jangan-jangan dalam ranah (kebijakan) pendidikan ini anda sebenarnya juga kelas medioker? Atau anda juga bagian dari economics (rent seeking activity-oligarkis) are the method: the objects is to change the soul (dijadikan jiwa-jiwa medioker). *** (06-06-2020)