30-05-2020
“The standard of justice depends on the equality of power to compel and that in fact the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept”
Melian Dialogue[1]
Ketika Perang Dunia II berkecamuk secara langsung di antara negara-negara kuat saat itu, Indonesia seakan menggunakan kesempatan ketika mereka menjadi ‘lemah’. Kesempatan untuk menyatakan kemerdekaannya setelah perjuangan panjangnya. Tetapi setelah Perang Dunia II itu berakhir, ternyata dunia masuk dalam ‘perang’ lain, Perang Dingin. Tidak hanya sekedar ‘dingin-dinginan’, tetapi nyatanya perang secara ‘langsung’-pun masih terjadi di sana-sini, di wilayah yang diperebutkan, paling tidak diperebutkan untuk masuk dalam pengaruh blok mereka. Ada di pihak masing-masing. Kekejamannyapun disana-sini tidak kalah dengan kekejaman era Perang Dunia II. Dan negara-negara pemenang Perang Dunia II yang kemudian ber-Perang Dingin itu seakan mengulang kutipan dalam Dialog Melian di atas, terhadap negara-negara proksi mereka.
Banyak negara-negara yang berhasil mencapai kemajuan dengan naik di atas gelombang ‘perang-dingin’ itu, tetapi tidak sedikit yang terseok-seok gelagapan bahkan hampir tenggelam. Sama halnya ketika perang-dingin berakhir dan gelombang globalisasi kemudian menerjang, ada yang berhasil dengan berselancar di atas gelombang globalisasi itu, tetapi ada yang justru terseok-seok gelagapan. Jika kita memakai analogi berselancar itu, berlatih dan berlatih –atau tidak, adalah ada dalam kendali kita. Kaki diikatkan dengan papan selancar adalah pilihan yang dalam kendali kita. Saat kapan mulai naik di atas papan selancar dan kemana diarahkan adalah dalam kendali kita. Tetapi tidak dengan gelombangnya.
Dan berselancar di atas gelombang ternyata kemudian tidak hanya mengikuti hukum alam gravitasi atau lainnya, tetapi juga gelombang hasrat manusia. Gelombang hasrat yang tidak hanya ada di era Perang Dingin, tetapi justru semakin besar pada era yang disebut dengan globalisasi-neoliberal itu. Gelombang yang tidak hanya memberikan keriangan saat berselancar, tetapi terlebih gelombang yang inginnya menarik peselancar-peselancarnya jatuh dalam gulungan ombaknya. Dan membawa ke arah kemana dia mau. Sekali lagi, tidak jauh dari kutipan Dialog Melian di atas.
Jika kita tetap memakai analogi peselancar, maka orang yang berselancar itu adalah politik, dan papan selancarnya adalah ekonomi. Jika memakai kata-kata si Bung, maka supaya berhasil perlulah keberesan politik dan keberesan rejeki. Tetapi orang berselancar itu tidak hanya membutuhkan ketetapan hati dan kecerdasan ketika menghadapi gejolak ombak serta tangan yang peka dan trampil untuk menyeimbangkan, tetapi juga kaki-kaki yang kuat. Ia perlu juga serdadu-serdadu yang kuat, terlatih, dan tentu saja: profesional.
Apapun label di belakang globalisasi, globalisasi itu sendiri sudah menjadi fakta di depan hidung kita semua. Bagaimana pandemi sekarang ini telah membuka mata terkait dengan kesaling-ketergantungan itu sudah menjadi lintas batas negara. Tetapi kita juga harus belajar dari sejarah, dinamika terkait dengan globalisasi ini. Frederic S. Mishkin dalam The Next Great Globalization (2006) menunjukkan bahwa globalisasi (ekonomi) gelombang pertama (1870-1914) itu ternyata diikuti dengan ‘the great reversal’ di tahun 1914-1939. Menurut Mishkin, globalisasi yang sekarang ini adalah globalisasi gelombang dua yang dimulai sejak tahun 1960-an. Jika kita amati lebih jauh, bagi kita yang di nusantara ini, globalisasi adalah juga ‘politik pintu terbuka’. Politik pintu terbuka yang telah melalui era imperialisme, dua Perang Dunia, Perang Dingin, dan apa yang kemudian disebut sebagai globalisasi itu.
Kita telah merasakan paling tidak tiga ‘politik pintu terbuka’, dan semuanya harus dibayar dengan sangat mahal. Politik pintu terbuka di 1870 yang digambarkan oleh Bung Karno, bisa kita lihat bagaimana kemudian kekayaan kita habis-habisan diangkut ke Eropa sana. Politik pintu terbuka di tahun 1966 dan 1998, kita melihat bagaimana itu kita sebagai bangsa harus membayar dengan torehan kelamnya sejarah. Dan dari apa yang dinikmati oleh rakyat kebanyakan, ternyata juga masih jauh kalah jika dibanding dengan beberapa negara yang juga membuka pintu di tahun-tahun sekitar itu. Setelah pintu dibuka.
Kalau sekarang muncul lagi term ‘the new cold war’, itu bukanlah hal yang mengagetkan. Bertahun lalu sudah ada prediksi akan adanya pergeseran geopolitik global, dari Atlantik ke Pasifik. Dan apapun yang namanya pergeseran dalam konteks ini tidaklah pernah berlangsung santai. Masalahnya, kita yang hidup di era yang sedang bergejolak ini, akan dinilai apa oleh anak-cucu-cicit kita nantinya? Akankah dinilai yang hanya berdiri saja sambil plonga-plongo terhadap dinamika itu? Atau hanya ona-anu-saja menunggu perintah sang majikan? Atau yang selfa-selfi di atas kapal perang? Atau yang bisanya ter-kaget-kaget, ter-heran-heran terhadap gejolak yang terjadi di depan mata itu? Atau yang sedang sibuk menggolkan anak dan mantunya untuk menjadi walikota? Mestinya, tidak. Janganlah. *** (30-05-2020)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.
com/024-The-Melian-Dialogue/