26-05-2020
Ketika wabah mulai menghampiri, maka ada wilayah yang kemudian di karantina, lockdown. Semua, siapa saja, baik kaya maupun miskin, punya status sosial tinggi atau yang biasa saja, sama-rasa-sama-rata harus tinggal di rumah dulu. Dan negara kemudian membagikan bantuan makanan: juga tidak menurut status sosial atau kaya miskin, tetapi sesuai dengan yang dibutuhkan saja. Jika wabah berkepanjangan dan meski negara tetap memberikan makan-minum sesuai kebutuhan, akankah tinggal di rumah itu juga akan terus ditaati oleh warga?
Dalam era digital seperti sekarang ini, tinggal di rumah saat wabah itu juga berarti memaksimalkan pilihan bekerja di rumah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Teknologi komunikasi yang sudah sedemikian berkembang itu, tidak hanya untuk bekerja tetapi juga untuk menjaga hubungan, dan juga terutama mengakses informasi. Bagaimana jika kemudian menjumpai informasi bahwa di belahan dunia sana meski juga kena wabah, warga masih banyak pecicilan keluar rumah bahkan juga tanpa masker? Atau juga menjumpai informasi bahwa petinggi negara ternyata juga ada yang pecicilan keluar rumah dan tanpa masker juga?
Setelah tegak berdiri hampir selama 30 tahun, Tembok Berlin akhirnya runtuh di tahun 1989. Sekitar 7 tahun kemudian, Ignas Kleden saat di Jerman ngobrol bareng dengan salah satu dosen yang dulunya hidup di Jerman Timur. Dalam obrolan itu, di tulis Kleden dalam Sosialisme Di Tepi Sungai Elbe (Kompas, 6 Juli 1996) apa yang dikatakan oleh dosen tersebut: "Sebaliknya, masyarakat kapitalis itu baik selama ada sistem lain yang menjadi musuh atau saingannya. Perbaikan nasib buruh, pemerataan pendapatan secara relatif di Barat, sistem asuransi kesehatan, jaminan hari tua, uang pengangguran, dan berbagai jaminan lain, tidak akan lahir di Barat kalau tidak ada tekanan dari sistem sosialis. Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain.”
“Desire is the essence of a man,” demikian Spinoza (1632-1677) mengatakan. Dan jika kita melihat sejarah, bagaimana upaya manusia mengelola gejolak hasrat ini seakan terus mendampingi sepanjang sejarahnya. Contoh, baik kapitalisme dan komunisme ini adalah juga bicara soal hasrat. Kapitalisme di ujung sana ingin melepas hasrat sebebas-bebasnya, komunisme di ujung sana ingin mengkandangi hasrat. Masing-masing dengan argumentasinya. Dan masing-masing juga menyimpan fakta potensial ‘kehancurannya’: ketika tidak tahu batas-batas yang dibawanya. Tidak jauh dari pendapat dosen Universitas Humblot seperti ditulis Kleden di atas.
“Sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain,” demikian seperti kutipan di atas. Apakah mungkin, terlebih di era sekarang ini kemudian berkembang dalam situasi ‘tidak diancam oleh sistem lain’? Kita hidup katakanlah, dalam ‘lockdown’ total a la Korea Utara? Jika masih ada yang menginginkan seperti itu, silahkan saja berbondong-bondong mendaftar menjadi warga negara Korea Utara! Maka tidaklah kemudian mengherankan, meski pihak kapitalis juga lekat dengan propaganda, ‘kebutuhan’ lebih pada yang ada di sisi sosialisme. Lihat bagaimana Vietnam berhasil ‘memaksa’ warganya untuk mematuhi keputusan karantina, salah satunya dengan propaganda. “Staying home is loving your country’, “social distancing is a form of patriotsm”, dan “the virus is your enemy’, adalah beberapa propaganda yang ikut mendorong keberhasilan Vietnam dalam menghadapi wabah. Tentu hal itu tidak berdiri sendiri, perlu tindakan konkret dari negara yang mendukung propaganda itu. Bukannya cuman ngibul doang. Atau itu dikatakan dengan sambil main goyang tik-tok atau glécénan.
Di satu pihak kita sedang menghadapi dominasi kapitalisme model ‘melepas hasrat sebebas-bebasnya’, neoliberalisme. Yang sebenarnya menurut David Harvey adalah restorasi power dari kaum kaya, atau tepatnya kaum 1% ‘kalangan atas’. Yang sebelumnya power mereka seakan tertahan karena proyek welfare state pasca Perang Dunia II.
Dari bermacam berita soal lockdown dalam masa pandemi ini, maka kita bisa melihat bahwa lockdown hanya akan bertahan dalam hitungan bulan, katakanlah maksimal 3 bulan. Selain menyangkut kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya, rupanya gejolak bermacam hasrat memang tidak bisa dikandangi terus-menerus. Dari hasrat mempertahankan hidup sampai dengan hasrat akan aktualisasi diri. Apalagi jika ada pembanding dari yang tidak melakukan lockdown meski itu juga ternyata harus ‘membayar’ lebih tinggi etrkait dengan konsekuensinya.
Mangunwijaya dalam tulisan “Kini Kita Semua Perantau” (1989) menulis hal menarik: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.” Atau kalau kita memakai imajinasi bebas kita, mungkin kita bisa bilang derajat kemampuan, seni, dan efektifitas bangsa itu dalam mengendalikan hasrat. Mungkin itu bisa mulai dari diri sendiri, tetapi dalam konteks hidup bersama dan sejarah juga menunjukkan, hasrat vs hasrat-lah yang lebih menjanjikan. Mengkandangi hasrat ala Korea Utara juga sudah tidak mungkin lagi. Tetapi membiarkan hasrat lepas sebebas-bebasnya ala neoliberalisme juga akan menghancurkan hidup bersama. Esensi neoliberalisme menurut Pierre Bourdieu (1998) adalah a programme for destroying collective structures which may impade pure market logic.[1] Maka kita kemudian adalah juga perantau. Dan untuk tidak sekedar memenuhi hasrat merantau saja, horison yang terus meluas dalam perantauan itu kita endapkan dan kemudian diubah untuk menjadi bahan bakar kemajuan bersama. *** (26-05-2020)
[1] https://mondediplo.com/1998/12
/08bourdieu