07-04-2020
“Believers in the shock doctrine are convinced that only a great rupture –a flood, a war, a terrorist attack – can generate the kind of vast, clean canvases they crave. It is in these malleable moments, when we are psychologically unmoored and physically uprooted, that these artists of the real plunge in their hands and begin their work of remaking the world,” demikian Naomi Klein dalam The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (2007). Salah satu contoh yang diajukan oleh Naomi Klein adalah ketika Badai Katrina melanda New Orleans di tahun 2005. Yang bagi Milton Friedman -salah satu ‘guru’ neoliberalisme, itu adalah kesempatan emas untuk menancapkan agenda-agenda neoliberalisme saat rakyat New Orleans -karena badai dahsyat tersebut, dalam keadaan ‘kosong seperti sebuah kanvas bersih’, dan itulah saat tepat bagi agen-agen neolib mulai berkerja.
15 tahun setelah Badai Katrina menerjang New Orleans, wabah Covid-19 melanda dunia, pandemi. Termasuk di republik. Jika ada yang berpikir akan ber-shock doctrine ria, sebaiknya berpikir ulang. Bisa-bisa salah kostum.
Bermacam contoh yang dimaksudkan oleh Naomi Klein terkait dengan disaster yang kemudian ada yang melanjutkan dengan logika shock doctrine itu, bisa diibaratkan yang dihadapi adalah seorang Mike Tyson dalam masa puncak keganasannya. Badai Katrina menyapu New Orleans hanya dalam hitungan menit, tetapi kerusakannya sungguh membuat shock bagi yang terdampak. Bahkan bagi yang tidak terdampak. Sedangkan dalam wabah virus Covid-19 ini, ibaratnya adalah melawan Oscar De La Hoya, yang perkasa karena lebih pada akumulasi pukulan.
Ketika wabah Covid-19 mulai merebak dan terus merebak dalam perjalanannya, jika ada yang ingin mengambil kesempatan dalam logika shock doctrine, misal meloloskan Omnibus Law itu, maka sungguh sedang berjudi. Memang kesadaran khalayak sungguh babak belur, tetapi itu bukan berarti sudah sampai pada kesadaran yang ‘kosong seperti kanvas putih’. Mungkin sudah sempoyongan karena akumulasi pukulan Covid-19, tetapi masihlah punya kesadaran. Ketika Many Pacquiao diberondong pukulan oleh Oscar De La Hoya, mungkin dia sempoyongan tetapi jelas masih sadar. Ditambah dengan teriakan dan bisikan di sudut ring membuat dia terus bertahan dan bahkan kemudian membalikkan keadaan.
Maka yang terjadi bukanlah logika shock doctrine, tetapi adalah logika ‘spiral-kekerasan’. Memaksakan agenda Omnibus Law dalam situasi wabah ini adalah juga sebuah kekerasan terhadap khalayak. Kekerasan bagi Galtung salah satunya mewujud ketika seseorang atau banyak orang dihalang-halangi pemekaran potensi-potensinya. Potensi khalayak dalam menghadapi wabah ini cukup jelas akan diganggu oleh agenda Omnibus Law ini. Maka lihat, baik secara langsung atau tidak, reaksi keras-pun mulai muncul terkait agenda Omnibus Law yang dipaksakan ini. Dan inipun kemudian memicu reaksi dari si-penguasa lebih keras lagi. Dan seterusnya spiral kekerasan-nya Dom Helder Camara itupun semakin nampak, kekerasan yang semakin meningkat-pun akan juga semakin membayang. Republik-pun semakin panas dingin. Dasar kacung! Dasar dungu! Asu! *** (07-04-2020)