26-03-2020
“Menjadi kuli di negeri sendiri’, demikian mungkin bisa dibayangkan soal ‘populi non grata’ ini. Jadi tidak hanya persona, tidak hanya person saja yang bisa di non-gratakan, tetapi juga khalayak. Contoh gamblang bagaimana proses pengambilan ‘keputusan’ soal pemindahan ibukota itu. Cetho, jelas, vox populi sedang di non-grata-kan. Asal kata grata dari gratus: acceptable, dapat diterima. Non grata: tidak diterima. Yang ‘agak tidak nampak’, kurang cetho bagi sebagian khalayak, yaitu ketika khalayak menghadapi memuncaknya kecemasan akan penyebaran Covid-19 itu, masih saja tega omong soal pindah ibu kota.
Maka, populi non grata bahkan in the mind bisa dikatakan sudah menjadi salah satu 'paradigma' yang kuat di kalangan elit rejim sekarang ini. Cobalah kita lihat bagaimana dengan tiga bintang di pundak seorang perwira tinggi polisi mendatangi seorang pengusaha, dan terkait test Covid-19 itu. In the mind, apakah ada rasa ewuh-pekewuh terhadap korps-nya? Adakah rasa ewuh-pekewuh, rasa sungkan ketika khalayak melihatnya? Seribu alasan, seribu klarifikasi bisa diberikan, tetapi khalayak sebagai pembayar pajak dalam bermacam rupanya, tetaplah berhak memberikan penilaian. Bahkan umpatan.
Atau soal omnibus-law itu. Juga, cetho, jelas, bukankah rakyat sedang di-non-grata-kan?
“Solus populi suprema est lex” adalah hal yang semestinya dijalankan. Dan kemudian ada yang menyandingkan dengan proses mundurnya Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Kalau kita lihat dari kacamata Platon, kita lihat mundurnya Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur sebagai sais itu bisa dikatakan mereka-mereka itu paham soal kereta[1] secara keseluruhan. Mungkin ada pertimbangan nalar, mungkin ada pertimbangan soal kebanggaan akan hidup bersama, mungkin ada pertimbangan soal ekonomi, mungkin gabungan antara dua, atau bahkan pertimbangan dari salah satunya. Tetapi juga dapat dilihat juga, ada faktor kedaulatan dalam diri. Adanya kedaulatan sehingga mempu mengambil jarak akan ketiga hal di atas, merenungkan, dan memutuskan. Memutuskan sesuatu yang jelas itu ada dalam kendali mereka: menyatakan mundur.
Tentu ketiga pimpinan kita yang mengundurkan diri seperti disebut di atas itu dalam tata geopolitik global tidaklah steril dari pengaruh luar, masalahnya adalah, apakah itu kemudian akan menghancurkan kedaulatan diri atau tidak ketika sampai pada situasi batas harus membuat keputusan terbaik bagi dirinya dan bagi yang dipimpinnya. Bagaimana jika kita berhadapan dengan orang yang tidak mampu lagi memutuskan yang terbaik bagi dirinya dan yang dipimpinnya ketika sampai pada situasi-situasi batas ia harus melakukannya? Dari Platon kita bisa belajar bahwa orang yang seperti itu bisa dikatakan tidak memiliki nalar yang cukup, kecintaan akan yang dipimpinnya cuma ala kadarnya, dan yang lebih penting lagi: ia hanyalah boneka dari si-kuda hitam, kekuatan uang. Bagi khalayak, empirik kita sedang merasakan populi non grata itu. Cetho.
Dan populi non grata ini akan sampai juga pada situsi-situasi batasnya. Yaitu ketika kebutuhan-kebutuhan dasar (kebutuhan fisik dan rasa aman) dari populi sungguh terancam. Dan ketika itu sampai pada titik-nya, potensi yang sangat mungkin adalah: bentrok. Kalau cara-cara beradab sudah tidak mungkin lagi, ya cara-cara kurang beradab-pun akan menjadi fakta faktualnya. *** (26-03-2020)
[1] Kereta dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon