www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-02-2020

Ceteris paribus sering terlibat dalam pembicaraan ranah sains. Ceteris paribus artinya adalah hal lain dianggap sama, atau konstan. Sesuatu diteliti sampai sekecil-kecilnya dengan sementara hal lain di luar yang sedang diteliti dianggap konstan. Banyak kemajuan yang dicapai dari olah sains di berbagai bidang dengan adanya ‘strategi’ ceteris paribus ini. Kebanyakan kaum teknokrat ia menjadi ahli di bidangnya karena ia paham akan satu hal sampai sedetail-detailnya. Sayangnya kadang lupa bahwa ia juga sangat mungkin berurusan dengan ‘strategi’ ceteris paribus ini.

Bahkan kadang tidak hanya lupa, tetapi juga ‘mengajak’ yang lain untuk menghayati juga ‘dunia obyektif’ yang dibangunnya berdasarkan klaim-kalim saintifik yang dikuasainya itu. Padahal dalam kenyataannya sehari-hari, ceteris paribus itu akan dilepaskan. Hal-hal yang dianggap konstan itu tiba-tiba saja muncul satu per satu dalam dinamikanya. Tidak hanya muncul sekedar muncul, tetapi ia seakan muncul memberikan batas-batas dari klaim-klaim saintifiknya. Batas-batas yang bisa juga akan memberikan horison baru untuk dilakukan lagi upaya penelitian atau pendekatan sains baru. Dan seterusnya.

Kita mungkin bisa meneliti bagaimana suatu tumpukan pasir dibuat dengan menjatuhkan sebutir pasir secara terus menerus. Diandaikan faktor angin, kelembaban, dan lainnya dianggap konstan. Satu per satu butiran pasir itu dijatuhkan dan lama-lama semakin menggunung. Tetapi pada titik tertentu, tambahan satu butir pasir itu justru membuat ‘gunung’ pasir itu runtuh. Atau ketika kita memasak sayur, ditambah sedikit-sedikit garam, sampai pada titik tertentu terasa enak. Jika ditambah garam lagi, rasa menjadi tidak karu-karuan. Artinya, bahkan jika yang lainpun dianggap konstan, pada dirinya sendiri-pun pada titik tertentu ia menemukan batas-batasnya sendiri.

Mengelola negara jelas membutuhkan ketrampilan-ketrampilan seorang teknokrat. Tetapi jelas juga pengelolaan negara tidak bisa diserahkan hanya pada kaum teknokrat saja. Di sinilah sebenarnya mengapa memilih seorang kepala pemerintahan tidaklah boleh main-main. Karena ia harus mampu menerjemahkan ‘segala batas-batas’ itu dalam sebuah keputusan strategiknya. Dalam kebijakan-kebijakannya. Maka dalam dirinya sendiri ia sebenarnya harus sudah ‘selesai’ dalam menghayati soal batas ini. Jika ia tidak paham soal batas-batas ini, maka dalam posisinya itu, ia akan dengan mudah dikatakan sebagai si-plonga-plongo. Atau bahkan seorang ‘idiot’. Bukan karena benci atau bermaksud merendahkan, tetapi karena tiba-tiba saja begitu banyak yang sedang dipertaruhkan. Seakan tinggal menunggu jatuhnya satu butiran pasir saja untuk sebuah keruntuhan. *** (28-02-2020)

Tidak Semua Bisa Dianggap Konstan