24-02-2020
Benih akan mempunyai potensi untuk berkembang menjadi tumbuhan. Tetapi ia masih memerlukan lingkungan tempat ia merealisasikan potensinya itu. Dengan berkembangnya bermacam penelitian tentang epigenetik maka semakin kaya pemahaman kita akan peran pentingnya lingkungan sekitar. Sudah bukan lagi soal nature versus nurture, tetapi semakin dipahami bahwa keduanya sangat diperlukan dalam mengembangkan kualitas hidup. Kekerasan-pun juga semakin dihayati bukan semata soal hilangnya potensi hidup atau soal hidup sendiri dengan segala kesakitannya, tetapi juga soal potensi mengembangkan hidup. Ada sebagian pemikir yang memandang kekerasan sebagai suatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.[1]
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely,” adalah penggalan surat dari Lord Acton di penghujung abad 19. Atau tepatnya di tahun 1887. Dalam sejarah manusia nampaknya memang tidak pernah lepas dari power itu. Yang semakin nampak terkait dengan power ini adalah bagaimana itu menjadi justru tidak menghancurkan hidup bersama. Maka bermacam hal kemudian dikembangkan, termasuk dalam hal ini bermacam lembaga-lembaga negara. Trias politika pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk ‘mengendalikan’ keliaran power ini. Keliaran yang bisa-bisa berujung pada absolute power seperti disebut Lord Acton di atas.
Maka siapa saja yang sedang duduk di dalam struktur-struktur trias politika beserta segala ‘turunannya’ ini harus sesadar-sadarnya ia sedang dalam ranah power dengan segala kemungkinannya. Salah satu kemungkinan adalah mewujudnya apa yang disebut dengan kekerasan struktural itu. Kekerasan yang justru muncul dari struktur-struktur negara (power) yang muncul dari para aparaturnya. Jika kita memakai pembedaan tiga kekuatan dari Alvin Toffler, kekuatan kekerasan, kekuatan uang, dan kekuatan pengetahuan, sebenarnya kekerasan-pun bisa mewujud dalam ketiga ranah kekuatan itu. Kekerasan sebagai suatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar seperti sudah disebut di atas.
Potensi untuk bisa mengungkap pendapat meski itu berbeda dengan penguasa yang berujung pada diciduk dan dipenjara jelas kekerasan mewujud dalam penggunaan kekuatan kekerasan. Potensi untuk menggapai kesejahteraan ketika panen raya tetapi justru struktur negara melakukan impor ugal-ugalan jelas juga sebuah kekerasan. Dalam hal ini melalui kekuatan uang. Pada kesempatan ini akan dicoba didalami kekerasan yang muncul dalam ranah kekuatan pengetahuan. Kekerasan struktural yang dilakukan oleh aparatur negara.
Tidak ada orang yang terlahir bodoh karena masing-masing mempunyai keunikan potensinya masing-masing. Demikian juga suatu bangsa, ia menyimpan potensi-potensi yang jika itu mendapatkan lingkungan yang tepat ia akan bisa juga ‘berlari cepat’ seperti halnya bangsa-bangsa lain. Tetapi apa yang kerap kita temui adalah ujaran dan perilaku dari si-penguasa yang sungguh jika dirasa-rasa justru malah hadir sebagai hama-nya lingkungan. Bukannya pupuk yang membuat potensi bangsa akan semakin merekah. Omongan asal njeplak itu seakan hadir tanpa beban lagi. Berulang dan berulang. Njeplak di sana njeplak di sini. Klarifikasi di sana klarifikasi di sini. Minta maaf, selesai. Perilaku sok-sok-an, gaya-gaya-an dengan tanpa beban lagi. ‘Mengotori’ lingkungan saja. Maka ucapan yang keluar dari elit pejabat aparat negara itu, bukan sekedar ‘permainan’ bingkai-bingkaian dalam ranah olah opini publik, tetapi juga bisa masuk ranah kekerasan juga. Bukan hanya berhenti pada aksi olah isu, tetapi juga bisa sebagai aksi kekerasan terhadap yang dipimpinnya. Khalayak, bangsa sendiri. Dengan jalan menghalangi potensi bangsa untuk merekah sesuai dengan daya yang ada. Apakah ini sudah dipikirkan dalam-dalam sebelum berujar? Sebelum berlagak dalam aksi sok-sok-annya? Aksi gaya-gaya-annya?
Maka pertanyaan dari Bre Redana dalam cuitannya 23 Februari 2020 seakan mewakili warga yang taat konstitusi dan yang sedang menonton pethakilannya si-penguasa, cuit Bre: “Pertanyaan orang yg taat konstitusi: adakah jalan konstitusional untuk mengganti penguasa nasional sebelum keadaan berlarut larut memburuk? Mohon pencerahan.”[2] *** (24-02-2020)
[1] Thomas Susanto, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 5
[2] https://twitter.com/BreRedana/
status/1231557342082125824