15-02-2020
Bagi penguasa saat itu, bermacam pamflet hasil penemuan mesin cetak itu perlu diawasi ketat. Termasuk juga jika munculnya ujaran melawan penguasa saat itu yang tertangkap dalam siaran radio. Itu sebagian cerita sebelum kemerdekaan. Atau juga sebelum reformasi.
Bagi si-Bung dan kawan-kawan, mesin cetak yang memungkinkan buku dan surat kabar ada di tangan adalah sebuah anugerah. Juga menjadi dimungkinkan disebarnya bermacam pamflet sebagai bagian dari gerakan. Radio kadang didengarkan bersama-sama untuk mengikuti perkembangan yang ada di luar jangkauan. Telegram dan telepon juga sebuah anugerah sendiri, bisa memperkuat koordinasi gerakan.
Tentu si-Bung, sang-Kakek, dan kawan-kawan, sangat sadar bahwa penguasa saat itu juga menggunakan segala produk dari mesin cetak untuk kepentingannya. Propaganda, bahkan sampai cuci-otak. Termasuk juga radio. Dan bahkan mungkin film. Tidak hanya penguasa saat itu, tetapi mungkin saja juga sebelum reformasi. Ditambah dengan ‘keajaiban abad 20’, televisi.
Hanya yang mempunyai jiwa-juang saja yang tidak akan takut akan propaganda penguasa. Ia melawan, argumentasi dilawan dengan argumentasi. Referensi dilawan dengan referansi yang lebih luas. Tekanan kekerasan dilawan dengan akal dan ketetapan hati. Ngibul dilawan dengan fakta cerdas. Pecah belah dilawan dengan kesepakatan-kesepakatan diantara kawan-kawan. Dan bermacam strategi-taktik lain.
Soal cucunya? Itu lain cerita. Tidak ada sangkut-pautnya sama sekali. Bukan ‘urusan serta-merta’. Sama sekali bukan. Bahkan jika si-cucu juga sudah bergelar doktor honoris causa itu. *** (15-02-2020)