12-02-2020
9 dari 10 kata dalam Bahasa Indonesia adalah asing, atau serapan dari bahasa asing.[1] Kita tentu boleh mempertanyakan pendapat Remy Sylado itu, tetapi faktanya jika kita mau berhenti sejenak, memang banyak kata yang merupakan serapan dari bahasa asing. Sebagai suatu bahasa, dan seperti bahasa lainnya juga, itu adalah hal yang tidak bisa dihindari. Biasa-biasa saja. Maka alangkah baiknya juga kita meluangkan waktu untuk meningkatkan pengetahuan bahasa kita, terlebih pada makna yang sebenarnya ketika kata asing itu kita serap dalam bahasa kita. Kita pakai dalam percakapan kita sehari-hari. Sebab mestinya kata lahir dalam kasanah bahasa tentu bukannya tanpa maksud.
Bagi komunitas yang sudah lama memakai kata ‘recommendation’, seseorang mengeluarkan rekomendasi bagi si A misalnya, untuk masuk pada jurusan tertentu sebuah lembaga pendidikan, maka ia akan hati-hati. Banyak yang akan dipertaruhkan di situ. Apalagi jika rekomendasi itu telah menjadi bagian dari ‘tertib-tatanan’ yang mungkin sekali tidak formal atau cuma setengah formal. Ada masalah nama baik, atau bahkan kepercayaan. Atau misal ia merekomendasikan untuk supaya dilakukan suatu tindakan tertentu. Di belakang rekomendasi itu ada pengetahuan, ada pengalaman tertentu. Ada ketrampilan tertentu. Setelah melakukan inspeksi secara cermat maka untuk mencegah adanya kebakaran, ia merekomendasikan langkah-langkah A, B, dan C. Atau setelah pemeriksaan macam-macam, dokter A kemudian merekomendasi untuk pemeriksaan lebih lanjut ke pusat pelayanan kesehatan X, misalnya. Rekomendasi juga bisa mendorong efisiensi. Misal, dari pada kita melakukan bermacam test lagi, kadang rekomendasi juga bisa menjadi dasar kita menerima seseorang. Cukup ditambah dengan 1-2 test saja.
Tetapi bagaimana jika rekomendasi dihayati oleh komunitas yang masih meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh[2]? Seperti disinyalir oleh Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu itu? Jangan-jangan tukang ngibul-pun akan direkomendasi juga. Atau sebenarnya bukan rekomendasi namanya, tetapi katebelece? Atau sekedar orèk-orèk-an saja? Corat-coret yang tidak ada martabatnya sama sekali? Dibuat sembari sial-siul dan hitung kancing baju. Sambil mendengarkan suara tokek. Dan ujungnya bukannya efisiensi, malah bikin ribet semua. Bikin repot semua. Tetapi, bukankah politik itu adalah ‘seni dari segala kemungkinan’? Termasuk kemungkinan memberikan ‘rekomendasi’ pada tukang ngibul? Merdekaaaaaaaaaaaaa. Marhaeeeeeeen. Jayaaaaaaaaa ..... *** (12-02-2020)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.
com/488-9-dari-10-Kata-Bahasa-Indonesia-Adalah-Asing/
[2] Lih, Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, hlm. 45