06-02-2020
Penghayatan akan Pancasila bukanlah ‘penghayatan iman’, karena tidak ada satu-pun unsur ‘wahyu’ dalam kelahirannya. Ia lahir dalam ruang antara perdebatan dan kesepakatan. Oleh pendahulu-pendahulu kita. Di antara ruang perdebatan dan kesepakatan itu ada argumentasi, ada integritas, ada komitmen. Ketika argumentasi, integritas, dan komitmen menjauh dari pembicaraan tentang Pancasila maka bisa-bisa sebenarnya kita sedang ‘mabuk Pancasila’. Argumentasi artinya kita memakai nalar kita, integritas yang dimaksud adalah satunya kata dan tindakan, sedang komitmen akan terkait dengan tindakan kita. Nalar kita dalam hal ini adalah nalar yang tidak lepas dari kompleksitas masalah yang berkembang. Baik sebagai fakta faktual maupun fakta potensial. Yang keduanya juga tidak akan lepas dari fakta-fakta masa lalu juga.
Ketika para elit berbusa-busa bicara soal Pancasila, tetapi di sisi lain dengan sangat telanjang kita melihat para koruptor itu sedang berpesta pora, bukankah Pancasila sebenarnya sedang dalam krisis? Mengapa Pancasila tidak bisa atau tidak mampu lagi sebagai ‘bintang penuntun’ tindakan aparat negara dalam memberantas korupsi itu? Atau dalam mengejar para pengemplang pajak kelas kakap itu? Maka bukankah Pancasila kemudian menjadi candu kaum koruptor itu? Karena bagi mereka, Pancasila kemudian menjadi tirai asap yang menyembunyikan tingkah-polah mereka dalam menggerogoti kekayaan republik. Tirai asap yang berulang-kali ternyata ‘sukses besar’ dan menjadikan para koruptor itu ketagihan. Dan tidak hanya berhenti disitu, tetapi mereka juga ingin khalayak menikmati candu itu dalam arti supaya khalayak terbuai dan lupa akan realitas korupsi yang sudah sedemikian gila-gilaan. Karena mereka juga sangat paham, realitas rusak-rusakan karena laku korup mereka itu pada ujungnya bisa juga membangun kesadaran yang akan bisa berujung pada ‘revolusi’ untuk menghancurkan ‘kerajaan korup’ mereka. Itulah ketika pembicaraan soal Pancasila kemudian ditawarkan bukan sebagai hasil produk interaksi kesadaran kritis yang muncul dari realitas yang berkembang, tetapi justru untuk membunuh kesadaran kritis itu.
Dalam situasi yang berkembang seperti sekarang ini maka sikap kita terkait dengan segala pembicaraan soal Pancasila yang keluar dari mulut para elit itu adalah jangan percaya. Apapun ketika mereka bicara Pancasila, selama kebijakan dan tindakan soal korupsi misalnya, tidaklah mencerminkan komitmen yang kuat, maka: jangan percaya. Anggap saja mereka sedang ‘mabuk Pancasila’. Jika rakyat seakan ‘dikejar-kejar’ untuk menjadi ‘manusia Pancasila’, maka kita wajib tunjuk hidung mereka juga. Pancasila pertama-tama adalah soal bagaimana perilaku negara, dan dalam hal ini adalah para penyelenggara negara. Bukan pertama-tama pada khalayak. *** (06-02-2020)