05-02-2020
Ketika kita pergi ke pasar (tradisional) kadang transaksi bukan semata atas dorongan kepentingan diri saja. Kadang melihat yang jual sayur misalnya, sudah tua maka sekali saja nawar transaksi selesai. Meski kita tahu harga masih di atas rata-rata. Banyak contoh lain yang mengindikasikan bahwa meski soal kepentingan diri itu penting dia bukanlah satu-satunya. Banyak hal yang mempengaruhi tindakan kita, sekali lagi, tidak semata soal kepentingan diri saja. Meski kadang kita mendengar bahwa jika itu di luar kepentingan diri maka tindakan itu tidak rasional. Mau dikatakan rasional atau tidak, faktanya kita bisa menghayati hal-hal yang di luar kepentingan diri itu.
Apa yang memungkinkan ketika si A memutuskan bertindak dengan membeli di atas harga rata-rata ketika si penjualnya adalah seorang renta misalnya, menurut Amartya Sen karena ia mempunyai apa yang disebutnya effective power atau daya efektif dalam dirinya. Bukan karena ia terikat semacam kontrak tertentu, tetapi ia mempunyai ‘kehendak bebas dalam menimbang-nimbang’ dan daya efektif itu. Dalam pengalaman pahit terkait apa yang sering disebut dengan ‘kontrak politik’, baik yang melalui ‘tanda-tangan di atas materai’ maupun bermacam janji yang ditebar secara terbuka pada pemilihnya, maka pemikiran Amartya Sen di atas bisa menjadi pintu masuk refleksi.
Maka kemudian hal ‘berdaulat’ bisa dikatakan penting. Adanya kebebasan lepas dari tekanan-tekanan eksternal. Karena ‘hal berdaulat’ ini akan menjadi salah satu kondisi sehingga effective power bisa dijalankan. Karena ‘hal berdaulat’ ini kita juga bisa lebih leluasa untuk ‘menimbang-nimbang’ dengan menggunakan sumber daya nalar kita. Rasio kritis kita. Dengan adanya effective power ini Sen kemudian membedakan adanya dua tanggung jawab, yaitu perfect obligation dan imperfect obligation. Untuk menjelaskan ini Sen memberikan contoh kejadian nyata di tahun 1964.[1] Yaitu Catherine Genovese yang hidup di apartemen di daerah Queens New York, mengalami kekerasan berulang, dan disaksikan (didengar) oleh tetangga apartemennya. Tetapi mereka diam saja. Menurut Sen ada tiga hal yang perlu diperhatikan, pertama, jelas kekerasan pada wanita tersebut telah merenggut kebebasannya (termasuk untuk tidak disakiti), dan itu adalah isu utamanya. Yang kedua, pelaku perundungan jelas melanggar kewajiban untuk tidak menganiaya, dan disitu ada pelanggaran yang disebut Sen sebagai perfect obligation (kewajiban langsung). Dan ketiga, para tetangga yang memilih untuk diam saja itu, ia bisa dikatakan menjauh dari imperfect obligation (kewajiban tidak langsung).
Dari putaran konsep yang diajukan oleh Sen di atas, masih ada yang perlu ditambahkan, yaitu yang disebut oleh Sen sebagai komitmen. Komitmen selalu bersinggungan dengan tindakan, bahkan jika itu baru sebatas tindakan awal saja. “Dalam tindakan simpati, motif kepentingan-diri masih ada, sementara dalam tindakan komitmen, motif itu tidak lagi menjadi perhatian. Yang menjadi perhatian di dalam tindakan komitmen adalah apa yang harus dilakukan dalam menanggapi sesuatu yang dianggap salah atau tidak baik,” demikian Sunaryo dalam Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen.[2]
Kita ambil contoh, terkait bermacam kasus korupsi yang ada di sekitar lingkar kekuasaan dan jumpalitan-pethakilan-nya para ‘stake-holders’-nya, kadang muncul kegundahan terkait ‘situasi pembiaran’. Seakan apa yang diperjanjikan saat kampanye (kontraktual) dulu begitu saja menguap. Atau coba kita lihat dari kacamata Amartya Sen di atas. Pagi-pagi kita sudah merasakan bagaimana retaknya kedaulatan itu. Ditambah minimnya unsur kemampuan berpikir kritis. Dan lihat bagaimana kemudian effective power itu melemah. Maka semakin nampak tanggung jawab-pun perlahan melemah juga. Lempar-lempar kesalahan menjadi langkah yang biasa. Atau lihat, semestinya ia punya effective power untuk menyarankan anak, mantu, atau saudara dekat besannya untuk menangguhkan keinginan terjun di ranah eksekutif. Tetapi itu tidak dilakukan. Kewajiban tidak langsung-nya (imperfect obligation) itu tiba-tiba ‘mengkeret’, mungkret, dan sangat mungkin karena sebenarnya ia tidaklah berdaulat sepenuhnya. Atau coba kita ingat lagi, bagaimana kata ‘komitmen’ itu ‘dipermainkan’ dan ‘dipaksa’ masuk ranah ngibul. Tanpa sungkan-sungkan lagi, bahkan terhadap para sesepuh. Apa yang masih bisa diharapkan? *** (04-02-2020)
[1] Amartya Sen, The Idea of Justice, The Belknap Press, 2009, hlm. 174
[2] Sunaryo, Etika Berbasis Kebebasan Amartya Sen, Gramedia, 2017, hlm. 124