www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-02-2020

UDNS PKD adalah singkatan dari “Udah dipikirin nanti saja. Pokoknya kampanye dulu”. Penggalan dari laporan Kompas.com, "Salah satu yang di-promise Presiden kala itu kartu pra-kerja Rp 10 triliun. Ini saya tanya 'Pak ini gimana caranya?' kemudian Pak Presiden bilang 'Udah dipikirin nanti saja. Pokoknya kampanye dulu," ucap Sri Mulyani menirukan jawaban Jokowi saat itu, di Jakarta, Kamis (31/1/2020).[1] Suka tidak suka, republik yang kita cintai ini sekarang sedang dipimpin oleh orang yang omongannya seperti itu. Omongan ora mutu.

Dalam laporan kompas.com itu, Sri Mulyani menggambarkan sebuah dialog menjelang Pilpres 2019 lalu. Sedang kebanyakan rakyat yang sudah merasa, selama lima tahun sebelumnya seakan dihadapkan pada ‘kampanye tiada akhir’. Mengapa ‘kampanye tiada akhir’ ini seakan mengusik banyak orang?

Tentu bicara politik tidak akan lepas dari soal kekuasaan. Merebut, mempertahankan, atau apalah namanya. Tetapi politik, seperti hal lainnya, ada dalam hidup kumpulan manusia. Manusia yang dalam menjalani hidupnya akan mampu juga menghayati berrmacam hal. Ia akan mampu menghayati soal cinta ketika di film ditampakkan dengan bunga dan puisi. Atau ketika sahabatnya bercerita bagaimana ia mengajak makan bersama pacarnya. Tetapi pada saat bersamaan, ia bisa juga paham bahwa cinta bukan saja soal bunga, puisi, atau makan bersama. Atau ia bisa juga membayangkan, ketika cinta kemudian hanya masalah bunga dan kemudian membanjiri si-dia dengan bermacam bunga, pada titik tertentu bisa-bisa ia akan menemui ‘krisis-cinta’.

Demikian juga soal politik. Siapa yang akan mengingkari bahwa politik tidak akan lepas dari kekuasaan? Bahkan pengamat-pun tidak akan melepaskan diri dari analisisnya soal kekuasaan. Tetapi bagaimana jika soal kekuasaan ini menjadi satu-satunya dimensi dalam politik? Yang kemudian ‘dihaluskan’ dengan mempertentangkan antara ‘politik riil’ dan ‘politik ideal’? Tidak jauh berbeda ketika kaum neolib itu kemudian berkhotbah bahwa soal pasar bebas adalah ‘there is no alternative’ itu. Dan kemudian Konsensus Washington adalah ‘jaket-ketat’ yang mesti dipakai oleh setiap negara-bangsa di planet ini.

Maka muncullah jenis ‘fanatik baru’, fanatisme akan kekuasaan. Atau kalau meminjam kata-kata Churchill, ‘a fanatic is someone who can’t change his mind and won’t change the subject’. Inilah yang kemudian akan menuju pada sebuah krisis. Krisis makna akan politik itu sendiri. Dimana kebanyakan orang akan menghayati bahwa politik itu akan lebih luas dari sekedar masalah kekuasaan. Dan janganlah mengira penghayatan itu adalah sebuah kebodohan, atau ke-naif-an. Mereka tidak sedang mengingkari soal pentingnya kekuasaan dalam politik. Mereka akan paham juga, bahkan tanpa lampu terang teori politik, bahwa politik itu akan ada dalam ketegangan antara ‘politik riil’ dan ‘politik ideal’. Apalagi interaksi semakin terbuka, mudah, dan cepat dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi. Kalau potensi akan bisa paham terkait hal yang sudah disebut di atas itu tidak ada, mengapa orang seperti Ruhut Sitompul, Abu Janda, Ngabalin, Dewi Tanjung, dan sejenisnya itu tetaplah ‘dipaksakan’ untuk terus ada dan beredar di ruang publik?

Apa yang terjadi ketika ada krisis dalam politik? Carl Schmitt membedakan antara ‘yang politikal’ (the political) dan ‘politik’, dimana ‘yang politikal’ itu adalah ‘alasan’ mengapa politik itu ada. Adanya ekonomi karena ada pembedaan antara untung dan rugi, dan menurut Schmitt, adanya pembedaan antara lawan dan kawan-lah yang membuat politik itu ada. Atau mungkin kita bisa berandai-andai, bagaimana jika tidak ada politik tetapi pembedaan lawan dan kawan itu tetap masih ada? Artinya, ketika terjadi krisis dalam politik, maka pembedaan antara lawan dan kawan itu bisa-bisa saja tiba-tiba sudah di depan mata secara telanjang. Artinya, dalam dunia yang beradab, politik akan secara tidak langsung juga ‘memperadabkan’ soal pembedaan antara lawan dan kawan ini. Bukan menghilangkan, tetapi sekali lagi, ‘memperadabkan’. Mungkin tidak jauh dari apa yang disinggung oleh Huizinga soal homo ludens itu.

Maka tidak heran pula jika kemudian ada yang mengatakan, untuk rejim ‘model’ seperti ini, ia akan menjadi ‘paripurna’ jika didukung all-out oleh yang pegang senjata. Karena tiba-tiba saja pembedaan lawan dan kawan itu hadir semakin telanjang. Jika itu yang terjadi, maka 'fase stabilisasi rejim' mbèlgèdès itu akan makin merekah. Dan mereka yang ‘di-balik-layar’ nampaknya sudah menyiapkan jawaban, ‘bukan aku lho, tetapi dia tuh orangnya...’ Yang selama lima tahun lalu jelas tidak (belum) mungkin disiapkan jawaban yang kayak gitu. Hati-hati bro .... *** (03-02-2020)

 

[1] https://money.kompas.com/read

/2020/02/02/105615626/ini-janji-jokowi-yang-bikin-sri-mulyani-sampai-sakit-perut

UDNS PKD