30-01-2020
Friedrich von Hayek sungguh terusik dengan tontonan a la Nazi, atau juga Leninisme, Stalinisme. Ketika ekonomi menjadi bagian dari rejim sama-rasa-sama-rata. Atau menjadi bagian dari yang serba sentralistis. Kebebasan individu dalam mengejar kepentingan diri yang harus takluk atas nama kepentingan bersama itu. Maka tak heran jika hampir 40 tahun kemudian Pierre Bourdieu memotret esensi dari neoliberalisme yang dipromosikan oleh Hayek dkk itu sebagai “a programme for destroying collective structures which may impede pure market logic.”[1]
Pasar ada bahkan jauh sebelum Hayek lahir. Esensi pasar adalah tempat bagi kebanyakan orang untuk mengusahakan kesejahteraannya. Ada pertukaran di situ. Ada yang dipertukaran, ada supply and demand. Dan bahasa umumnya adalah harga. Harga yang mewarnai bermacam variasi komunikasi. Bahkan Montesquieu menegaskan bahwa “wherever the ways of man are gentle, there is commerce and wherever there is commerce, the the ways of men are gentle.” Atau kemudian banyak yang menegaskan bahwa pedagangan itu akan mengembangkan peradaban.
Mari kita loncat ke masalah cinta. Bagaimana orang menyatakan cinta? Dengan bunga dan ditambah puisi? Dengan makan malam romantis? Bagi yang pernah jatuh cinta, mungkin akan melihat hal-hal di atas sebagai hal penting. Tetapi pada saat yang bersamaan, apa yang dihayati soal jatuh cinta tentu lebih luas dari soal bunga, puisi, dan makan malam. Bahkan jika ketiga-tiganya sudah dilakukan semua. Belum lagi jika kita bicara umur, yang akan berbeda penghayatan soal cinta pada remaja dan bagi yang sudah dewasa. Bahkan manula. Dalam hidup bersama ada pasar, tapi bisakah hidup bersama itu kemudian adalah pasar itu sendiri? Dan persis di sinilah kita bisa mendekati soal neoliberalisme ini. Pasar yang tidak hanya ‘dilepaskan’ (disembedded) dalam hidup bersama, tetapi justru ia melakukan yang dulu dikritik habis oleh Hayek, pasar menjadi sedemikian ‘sentralistik’-nya. Atau dalam bahasa Thomas Friedman, ‘golden straitjacket’. ‘Sentralistik’ yang dibahasakan oleh Thatcher: ‘there is no alternative’. Semua adalah komoditas. Atau kalau kita memakai analogi kereta perangnya Platon, tidak ada alternatif lain selain si-kuda hitam yang memimpin.
Platon dalam analogi kereta perang-nya menggambarkan sebuah kereta perang dengan sayap di kanan kiri, dan ditarik oleh dua ekor kuda, kuda putih dan kuda hitam, dengan seorang sais. Sais menggambarkan nalar, kuda putih soal kebanggaan, dan kuda hitam nafsu-nafsu, terutama perut ke bawah. Dan sayap adalah eros. Nafsu atau hasrat perut ke bawah terutama dalam hal ini adalah nafsu akan kekayaan, akan uang. Dan sais akan berusaha mengarahkan kereta menuju ‘ke-atas’ mendekat pada ‘kebaikan-para-dewa-dewa’. Masalahnya, karakteristik si-kuda hitam adalah semau-maunya sendiri dan cenderung mengarah ke-bawah. Berbeda dengan si kuda putih. Maka ketika hasrat akan kekayaan itu kemudian menjadi ‘sais’ atau yang dominan dan menjadi sentral kehidupan bersama, jika mengikuti Platon maka hidup bersama akan cenderung meluncur ke bawah. Rusak-rusakan.
Tetapi mengapa jalan neoliberalisme ini dalam batas-batas tertentu tidak membuat di banyak negara, terutama bagi para pengusungnya itu tidak kemudian menjadi rusak-rusakan? Tentu pendapat Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2004) perlu dilihat untuk memahami betapa ‘urik’-nya mereka. Tetapi lepas dari itu, kita bisa meraba ‘urik’ lain, yaitu meminjam dari pendapat Platon di atas. Mereka berseru kuat soal bermacam hal terkait dengan neoliberalisme, soal mak-nyus-nya si-kuda hitam, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah mengatakan bahwa sais dan kuda putih harus lengser sepenuhnya. Juga sayap di kanan-kiri kereta.
Mereka sadar bahwa jika kuda hitam itu menjadi satu-satunya dasar bagi hidup bersama maka krisis-lah yang akan dijumpai pada ujungnya. Ketika hidup bersama dihadapkan pada krisis makna, dan bermacam kelanjutannya. Lihat bagaimana Thatcher bisa menuai hasil yang ‘menakjubkan’ atas Perang Malvinas ketika ia sedang dalam proses membesarkan si-kuda hitam itu. Atau Donald Trump ketika bersitegang dengan Iran sekarang ini. Ketika ia gagal berperan sebagai ‘filsuf raja’ di tengah-tengah membesarnya si kuda hitam. Intinya, mereka tidak membunuh soal kebanggaan dan soal nalar, atau dalam hal ini juga berarti peran penting seorang pemimpin dengan kualitas mendekati ‘filsuf raja’. Atau sederhananya, terbaik dari yang terbaik.
Soal ‘kebanggaan’ bisa saja kemudian dekat dengan ‘permainan’, tetapi bisa juga tidak. Brexit, misalnya. Atau China yang sedang berambisi menjadi super-power itu. Tetapi soal peran penting seorang pemimpin dengan kualitas mendekati ‘filsuf raja’ sangat sulit untuk menjadi ‘permainan’. Atau dipermainkan. Apalagi dalam komunitas dengan power distance yang rendah. Krisis adalah harga yang harus dibayar. Bagaimana dengan komunitas dengan power distance tinggi seperti kita? Maka akan menjadi lebih mudah untuk ‘dipermainkan’. Bahkan bukan pemimpin-pemimpin dengan kualitas yang mendekat pada kualitas seorang ‘filsuf raja’, tetapi justru yang banyak beredar adalah para bajingan itu. *** (30-01-2020)
[1] https://mondediplo.com/1998/
12/08bourdieu