21-01-2020
Setelah beberapa hari beredar di sekitar Pejaten Jakarta, dalam perjalanan pulang ke Semarang ada buku menarik di toko buku bandara. Buku karangan Simon Winchester, The Perfectionists: How Precision Engineers Created the Modern World (2018). Ketika membuka halaman-halaman pertama, tiba-tiba saja kegundahan Frank Lampard –pelatih Chelsea, ikut menyelusup. Kegundahan akan penggunaan teknologi VAR (Video Assistant Referees) di Premier League. Penggunaan teknologi VAR ini sebenarnya banyak membantu juga, terutama saat gol terjadi, sudahkan melewati garis? Tetapi ketika begitu banyak hal lain harus menunggu VAR, nampaknya itu kemudian juga mengganggu. Mengganggu bahwa manusia-pun perlu ‘drama’.
Penggunaan VAR di Premier League bukan berarti sebelumnya wasit dan asistennya tidak selalu berusaha meningkatkan kemampuan menuju ‘zero defect’. Atau wasit yang terbukti beberapa kali melakukan error terus saja dipertahankan. Tetaplah yang dituju suatu keputusan yang ‘presisi’ atau dalam hal ini mungkin ‘akurat’. Tetapi karena ini adalah pertandingannya antar manusia, kesalahan-pun bisa-bisa saja terjadi. Dan itu sebenarnya adalah juga bagian dari pertandingan, bagian dari ‘teater agung’ yang sedang dilihat jutaan penonton. Cuma memang jika kesalahan begitu banyak dan berulang maka tontonan itu kemudian menjadi sangat tidak menarik. Apalagi jika menjurus pada ‘sepak bola gajah’ misalnya. Hasil sudah diketahui sebelum pertandingan.
Atau lihatlah negara kota Singapura itu misalnya. Bagaimana jalan-jalan banyak dicat di aspalnya, tentang arah dan lainnya. Tidak hanya soal melanggar hal yang sudah jelas maka akan ada sangsinya, tetapi adalah soal juga melatih warganya untuk taat hukum. Dan juga rambu-rambu lalu lintas lainnya. Seakan kita dituntun untuk secara tepat mengikuti ‘petunjuk arah’ itu. Bahkan tidak usah berpikir lagi, apalagi berpikir untuk melanggarnya. Dalam banyak hal tentu ini akan ikut membangun suatu ‘tertib tatanan’. Tetapi mungkin saking tertibnya di banyak hal maka ada yang memlesetkan Singapura sebagai Singaboring, membosankan. Tidak ada ‘drama’ untuk suka-suka melanggar. Seperti komedi Srimulat yang kadang membuat kita ngakak saat memlesetkan ‘gerakan-gerakan rutin’ manusia.
Sesampai di rumah ketika melanjutkan membaca buku Simon Winchester itu, The Perfectionists: How Precision Engineers Created the Modern World, tiba-tiba saja mata tertuju buku karangan Koentjaraningrat yang terbit pertamakali sekitar 45 tahun lalu, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Buku yang menyinggung soal mentalitas yang tidak cocok dengan pembangunan, seperti (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas suka menerabas, (3) sifat tak percaya diri, (4) sifat tak berdisiplin murni, (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (Koentjaraningrat, 1985, cet-12, hlm. 45) Dan bukankah kelima hal di atas juga sebenarnya tidak lepas dari soal presisitas? Dan bolehkah kita menghayati juga eratnya pembangunan itu dengan modernisasi?
Bisakah presisitas yang dikatakan oleh Winchester sebagai yang juga membangun dunia modern itu adalah juga anak kandung si bapak modernitas, Rene Descartes? Clear and distinct, demikian Descartes bergumam. Jelas dan terpilah. Cogito ergo sum, dimana cogito pertama-tama adalah soal clear and distinct itu. Ketika masuk tahun pertama kuliah dokter di UNDIP, hal pertama yang mengesankan adalah pergaulan erat dengan mayat, sebagai bagian tak terpisahkan dari matakuliah Anatomi, selama 2 semester. Seluruh bagian dari tubuh manusia itu diberi nama, dan harus paham betul, hapal sampai sekecil-kecilnya. Detail dan terpilah. Demikian juga kuliah semester berikutnya, Patologi Anatomi. Mungkinkah hidden curriculum-nya adalah soal sikap presisitas itu? Kalau kita lihat diri kita, bukankah dalam diri ada sebuah presisitas juga. Lihat bagaimana rangkai kode-kode DNA dalam diri kita. Meleset sedikit saja bisa-bisa bermacam penyakit akan menghinggapi. Atau lihat wajah kita. Detail dan terpilahnya akan membuat tidak ada yang sama. Bahkan jika itu kembar identik.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hidup harus selalu presisi, atau presisi itu adalah bagian dari hidup? Tentulah yang kedua. Presisi adalah bagian dari hidup. Meski dalam dunia modern ini presisi semakin penting, tetapi tetaplah ia bagian saja dari hidup. Semakin penting? Lihat saja karena keretakan sebesar rambut di keramik penahan panasnya, pesawat ulang-alik-pun bisa meledak ketika menembus atmosfer bumi! Maka yang paling utama adalah bagaimana kita bisa menghayati soal presisitas ini. Bagaimana kita bisa bersikap terhadap hal ini. Sehingga ketika suatu hal menghampiri kita dengan ‘tuntutan’ presisitas yang tinggi, kita tidak jatuh dalam keadaan 'hipokognisi'. Atau bahkan cuma nyinyir doang.
Kita kadang melihat adanya lomba mengeja di anak-anak berbahasa Inggris. Bukankah itu juga bisa dilihat sebagai latihan bersikap presisi? Memasukkan soal presisitas dalam kesadaran anak sejak dini. Sehingga ketika modernitas yang penuh dengan dinamika ke-presisi-an yang semakin meningkat itu, ‘suasana kebatinan’ telah siap menghadapinya. Tetapi bagaimana jika pada saat yang sama ruang publik terlalu banyak disesaki soal ngibal-ngibul itu? Yang ini juga jelas kepresisiannya, sayangnya, presisi soal ke-bangsat-annya. Dan tidak yang lainnya. Jelas dan terpilah. *** (21-01-2020)