06-01-2020
Bayangkan dalam sebuah pertemuan antara KPU dan insan media, dan ditanyakan apakah KPU sudah mengantongi sertifikat ISO 27001 dan ISO 31000, terlebih untuk sistem IT-nya? Hal yang coba diingatkan oleh Onno W. Purba terkait beberapa permasalahan di pemilu dan pilpres tahun 2019 lalu, pada akun twiternya 6 April 2019. Dan kemudian bayangkan juga jika dijawab oleh anggota KPU: “Bukan sertifikat anda, bukan adu sertifikat sekarang ini, bukan ... tapi adu ketrampilan, adu skill, adu kompetensi.”[1]
Atau coba bayangkan betapa ribet-nya sebuah Rumah Sakit yang sedang mempersiapkan akreditasinya. Dan bayangkan pula ketika seorang petugas Departeman Kesehatan ketika memberikan pengetahuan tambahan soal akreditasi RS pada para direktur rumah sakit tiba-tiba salah satu direktur nylethuk: “Bukan sertifikat Pak, bukan adu sertifikat sekarang ini, bukan ... tapi adu ketrampilan, adu skill, adu kompetensi.” Dan direktur itu kemudian memutuskan untuk walk-out, dan membuang materi ceramah ke tempat sampah. Tentu ada dan mungkin banyak (?) yang menghayati akreditasi RS itu sebatas soal perijinan misalnya, atau soal formalitas yang nantinya sertifikatnya akan dipajang di dekat pintu masuk. Tanpa ada perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah akreditasi.
Apa yang dinilai dari misalnya, akreditasi RS itu? Ada tiga hal penting, yaitu bagaimana inputnya, prosesnya dan output dapat memenuhi standar-standar ‘kepantasan’ yang ditetapkan. Dan terlebih adalah soal proses dan inputnya. Maka bagi yang paham proses akreditasi ketika melihat sertifikat akreditasi itu dipajang di pintu masuk, ia akan paham itu bukanlah sekedar sertifikat. Perlu upaya tidak sedikit sehingga keluar sebuah sertifikat itu. Demikian juga ketika kita melihat ijasah anak kita. Misalnya ia baru saja diwisuda di sebuah Perguruan Tinggi. Kita bisa cerita bagaimana anak kita belajar dan bagaimana saat menghadapi ujian dari semester ke semester. Dan juga bagaimana orang tua banting tulang menyediakan biaya kuliah, atau beli buku, atau biaya kos-kosannya. Dan di hari itu diserahkanlah ijasah setelah 4 tahun kuliah. Tiba-tiba di depan pintu gerbang saat mau pulang, anda dicegat seorang laki berbaju putih dan mengatakan dengan lantang: “Bukan ijasahmu, bukan adu ijasah sekarang ini, bukan ... tapi adu ketrampilan, adu skill, adu kompetensi.” Mungkin anda akan marah, tetapi bisa juga anda mengambil sikap bijak, mungkin orang itu tidak paham dan tidak bisa menghargai bagaimana upaya seorang anak untuk mendapatkan sebuah ijasah. Orang tidak paham soal proses.
Tetapi sebagai orang tua ia mungkin juga sadar bahwa mendapatkan ijasah barulah satu dari sekian langkah bagi si-anak untuk memperoleh kehidupan layak nanti yang dengannya (ijasah) ia kemudian mendapatkan pekerjaan. Atau mulai sebuah usaha mandiri. Atau mungkin melanjutkan pendidikan lanjutannya. Dan ia (orang tua si anak itu) ingat pula bagaimana pemenang Nobel ekonomi tahun 2019 yang terdiri dari 3 orang itu memandang penting faktor pendidikan dalam meningkatkan taraf hidup.
Suka atau tidak, apa yang namanya ijasah, sertifikat, atau rekomendasi atau bahkan surat keterangan telah menjadi bagian dari hidup bersama. Bagian dari ‘kata-kata’ dalam bahasa kita. Dan sebagai ‘kata’ salah satu yang perlu diperhatikan adalah hubungannya dengan realitas. Jika buah mangga itu sudah manis dan enak dimakan, biasanya akan kita sebut sudah ‘matang’. Jika masih kehijauan dan kecut, masih ‘mentah’. Kita tidak bisa bersikukuh jika ada mangga yang kehijauan dan kecut itu kemudian kita katakan sebagai yang ‘matang’. Kecuali memang sudah ada ‘kesepakatan bersama’ kalau istilahnya sudah berubah. Jika kita mempunyai ijasah sebagai dokter umum maka ijasah yang kita pegang itu seakan sudah akan membunyikan bahwa saya sudah bisa melakukan ini, atau itu. Demikian juga jika kemudian saya melanjutkan sebagai dokter bedah.
Tentu bukan berarti yang tidak mempunyai ijasah terus tidak bisa sukses atau mempunyai kehidupan yang layak. Tentu kita paham juga di luar ijasah masih banyak faktor lain sehingga seseorang bisa sukses atau hidup layak. Dalam bayang-bayang sifat mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya kepada diri sendiri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh seperti dikatakan Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu, soal ijasah ini memang bisa ‘jatuh harga’ juga. Coba lihat misalnya yang gampang saja, soal jual beli ijasah sampai dengan ijasah palsu. Dan yang tak kalah penting, soal meritokrasi yang sering kalah atau dikalahkan.
Maka yang penting bukanlah pertama-tama soal ‘adu-adu ijasah’, atau ‘adu-adu sertifikat’, atau ‘adu-adu kertas’ lainnya, tetapi apakah ijasah yang diperoleh anak ketika selesai pendidikan itu memang kredibel atau tidak. Atau sertifikat setelah menyelesaikan sebuah pelatihan itu memang kredibel atau tidak. Termasuk juga surat rekomendasi atau keterangan lainnya. Suka atau tidak, ijasah telah menjadi bagian dari sekian rute seorang anak membuka jalan untuk hidupnya kelak. Bukan salahnya anak ketika ternyata ijasah yang diperolehnya tidak kredibel. Itu adalah kesalahan pemangku kepentingan lainnya, dan terutama adalah pemerintah. Bahwa adalah penting soal ketrampilan, skill, atau-pun kompetensi tidaklah ada yang mengingkarinya. Tapi tidaklah perlu terus nyinyir soal ijasah, kalau tahu diri. Kenapa? Jika yang nyiyir itu kalangan pemerintah, justru menjadi tanggung jawabnyalah untuk menjaga supaya ijasah itu adalah ijasah yang kredibel, yang mana di situ sudah nampak bobot ketrampilan, skill, dan kompetensinya. Menekankan sesuatu itu adalah baik janganlah terbiasa dengan memburamkan lainnya. Apalagi jika itu dilakukan dengan serampangan. Jadi kebiasaan nantinya. Kebiasaan buruk.
Dan penutup catatan, ijasah semestinya tidak hanya soal ketrampilan, skill, maupun kompetensinya. Dari situ semestinya kita bisa membayangkan sebuah kemampuan untuk berpikir logis, pikiran yang lebih lincah dan terbuka, serta sebuah karakter atau ‘greget’ tertentu yang terbentuk seiring dengan lamanya meniti proses ia mendapatkan ijasah itu. Dan kita juga paham bahwa ijasah bukanlah akhir sebuah pembelajaran. Lifelong learning! *** (06-01-2019)
[1] Bandingkan dengan: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01329051/bukan-lagi-ijazah-jokowi-sebut-dunia-hanya-melihat-keterampilan-masing-masing-individu