06-12-2019
Laporan keuangan Garuda sebelum pemilihan umum yang berbeda dengan (revisinya) sesudah pemilihan umum bisa kita lihat sebagai salah satu bentuk kecurangan juga. Meski aromanya ‘kerah putih’ tetaplah esensinya kecurangan yang ugal-ugalan. Dan tidak ada sangsi. Dan berbulan kemudian kasat mata muncul di pemberitaan, dirut-nya kemudian dipecat atau diberi pilihan mundur karena kasus selundupan motor dan sepeda mewah.
Kecurangan dalam dunia tumbuhan dan hewan adalah soal mempertahankan hidup. Tetapi bagi manusia, selain masalah mempertahankan hidup ia juga ada dalam pertanyaan moralitas. Jika kecurangan hanya berhenti pada masalah mempertahankan hidup maka sebenarnya kita menurunkan derajat mendekati dunia flora dan fauna. Dan kemudian kita bisa membayangkan apa yang disebut Hobbes sebagai ‘state of nature’ itu.
Seorang petinggi Garuda misalnya, ia sebenarnya juga ‘sang-terpilih’ karena bermacam alasan. Dan alasan utamanya (seharusnya) ialah karena ia memiliki keutamaan-keutamaan tertentu, terutama prudence, temperance, courage, dan justice. Jika perlu ditambah piety.[1] Mungkin yang dimaksud Erick Thohir sebagai yang berakhlak itu adalah ke-lima hal di atas. Dalam dunia bisnis-pun keutamaan-keutamaan itu akan menjadi daya dorong yang tidak ada habisnya, mendampingi secara ketat gejolak hasrat.
Kecurangan adalah jalan gampang, dan sifatnya selalu saja akan menggoda. Siapa yang tidak akan tergoda dengan jalan gampang? Bahkan jika di sana ada jalan gampang, bukan tak mungkin itu menjadi perebutan yang sengit. Siapa yang tidak tergiur atas situasi yang seakan membiarkan pembuatan ‘laporan palsu’ itu? Yang faktanya rugi triliunan rupiah bisa disulap menjadi untung miliaran rupiah, dan masih tetap bisa melenggang tenang sambil bersiul-siul?
Kecurangan tidaklah sekedar masalah yang berhenti pada curang atau tidak curang, tetapi ia bisa beranak-cucu macam-macam. Macam-macam yang serba gelap. Kecurangan itu bagai suatu permainan yang tidak ada matinya untuk kalah. Apalagi kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistematis, meminjam istilah di pemilu lalu. Bukan masalah move-on atau tidak, tetapi karena ‘anak-cucu’ kecurangan itu akan kita rasakan terus-menerus selama bertahun kemudian. Ugal-ugalan, sok kuasa dan seterusnya. Persis seperti kasus Garuda di atas.
Daya rusak kecurangan itu bisa sedemikian hebat. Ia tidak hanya beranak-cucu kegelapan, tetapi juga menekan berkembangnya budaya-budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang bernilai tinggi.[2] Apa yang telah terjadi pada 5 tahun terakhir, dan melihat apa yang terjadi pada Garuda pada khususnya dan BUMN-BUMN lainnya pada umumnya, kita patut khawatir apa yang akan terjadi pada republik di tangan rejim ini. *** (06-12-2019)
[1] Lihat https://www.pergerakankebangsaan.
com/452-Keutamaan-Yang-Menghilang/
[2] Lihat https://www.pergerakankebangsaan.
com/455-Daya-Tembus-Sinar-Budaya/