03-12-2019
Jika soal nasionalisme dikaitkan dengan DNA maka mungkin komunitas di Eslandia adalah tertinggi potensinya untuk jadi yang paling ‘nasionalis’. Negara kecil di bagian utara Eropa itu hanya berpenduduk kurang lebih 400.000 jiwa, dan dari itu lebih setengah populasi sudah dipetakan DNA nya. Jika dua-tiga-empat orang Eslandia minum kopi bersama, dan mereka bersama-sama mencari ‘pohon keturunan’-nya sampai kakek-buyut-udeg-udeg-gantung-siwur-debok-bosok-nya mungkin mereka sebenarnya bersepupu jauh. Tentu mereka memandang kesamaan dalam fitur DNA mereka sebagai hal yang berharga, dan mungkin geli juga membayangkan ketika pergi ke pasar ia sebenarnya sedang bertemu dengan sepupu-sepupu mereka. Tetapi apakah mereka bangga sebagai orang Eslandia hanya karena mereka mempunyai fitur DNA yang menunjukkan kakek-buyut jauhnya itu sama?
Michael Moore tidaklah asal saja ia sampai ke Eslandia dalam membuat bagian dari film dokumenter Where to Invade Next (2015). Ia mengambil hal berharga dari Eslandia untuk diangkat dalam filmnya terutama soal kesetaraan gendernya. Juga Eslandia termasuk salah satu negara yang segera bangkit ketika krisis keuangan tahun 2008 menerjang. Salah satu resep jitunya yaitu dengan tegas memenjarakan para bankir-bankirnya yang nakal. Maka sedikit banyak bagaimana hidup bersama itu dikelola bisa saja memberikan kebanggaan bagi yang hidup di dalamnya.
Tom Hanks yang memerankan Chuck Noland dalam film Cast Away (2000) untuk bertahan hidup di pulau terpencil dan sendirian itu mengubah bola volley digambari wajah manusia sebagai teman. Dan dinamainya sebagai Wilson. Chuck Noland bisa kita bayangkan ia adalah juga ‘produk’ perjalanan panjang dari sebuah evolusi. Kebersamaan bersama orang lain sejak ia lahir, dan juga orang tua, kakek-buyut, udeg-udeg-gantung-siwur, debok-bosok, dan seterusnya, yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain bersama bahasanya, norma-norma sosialnya dan seterusnya, membuat kesendiriannya merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidupnya. Maka ketika ia memutuskan pergi meninggalkan pulau, Wilson-pun diajak pula sebagai teman. Dan ketika badai menghanyutkan Wilson si bola voli itu, lihat bagaimana kepanikan dan kesedihan ditampilkan oleh Tom Hanks.
Apa yang disebut sebagai nasionalisme sekarang ini tidaklah mungkin dihayati secara sendirian saja. Artinya, tumbuhnya rasa nasionalisme karena kita bersama dengan yang lain. Bersama dengan yang lain ketika status sebagai ‘abdi raja’ itu berubah menjadi warga negara. Tidak hanya penghayatan sebagai warga negara dan mampu membayangkan adanya warga negara di kanan-kirinya, tetapi juga tiba-tiba saja lepas dari segala upeti yang sering semau-maunya dipaksakan oleh raja (atau penjajah) dan para bangsawannya. Jadi secara tidak langsung, ia tumbuh bersama dengan upaya mencari ‘keberesan rejeki’. Rejeki yang lebih memungkinkan untuk bertahan hidup, untuk mengembangkan hidup. Bahwa kemudian ada ‘upeti’ dalam bentuk pajak untuk membiayai hidup bersama, ia merasa itu lebih baik dibanding upeti ala kerajaan karena ia terlibat dalam menentukannya.
Maka kalau nasionalisme itu juga bagian dari evolusi manusia, ia tidaklah semata berurusan dengan DNA saja. Jablonka dan Lamb (2005) dengan baik menunjukkan bahwa evolusi itu melibatkan 4 dimensi, genetic, epigenetic, behavioral, dan symbolic variation in history of life. Darwin tidak hanya bicara soal seleksi survival of the fittest, tetapi juga soal adaptasi. Dengan terisolirnya Galapagos selama beratus tahun, munculnya bermacam paruh burung adalah sebuah proses adaptasi yang kemudian diturunkan. Tidak adanya predator bagi burung-burung kecil itu maka mereka menjadi lebih mampu membangun proses adaptasi sesuai dengan jenis makanannya. Perhatian yang semakin meningkat pada masalah epigenetik di bagian akhir abad 20 salah satunya dipicu pada studi panjang terhadap suatu rentang waktu kelaparan pada periode Perang Dunia II di Belanda. Kelaparan kronis itu telah mengubah bagaimana pembacaan dalam struktur mikro gen itu telah tidak hanya membuat bermacam penyakit muncul, tetapi penyakit-penyakit itu juga ternyata diturunkan.
Di atas disebut ada 4 dimensi dalam evolusi, genetic, epigenetic, behavioral, dan symbolic variation in history of life. Tiga yang terakhir bisa disebut sebagai faktor non-gen. Jika kita memakai pengandaian di bidang seni musik,[1] faktor genetic bisa diandaikan ia seperti partitur-partitur, seperti not-not yang sudah baku dan bisa di-copy terus dan bisa selalu sama dari generasi-ke-generasi. Sedangkan tiga faktor non-genetic bisa diandaikan ketika musik itu dimainkan, dihayati, yang bisa saja dalam generasi-ke-generasi ada perbedaan-perbedaan. Pada saat tertentu jika penghayatan itu kemudian ada pemikiran untuk mempengaruhi not-not yang ada dalam partitur maka bisa saja not-not itu akan terpengaruh juga.
Maka bisa kita lihat bahwa apa yang disebut sebagai sampah demokrasi oleh Rizal Ramli ketika ia diserang oleh buzzer-buzzer pendukung Ahok beberapa lalu, dalam jangka panjang sebenarnya tidaklah salah jika kita mengimajinasikan mereka-mereka itu adalah juga ‘sampah evolusi’. Dan sayangnya, ‘sampah-sampah evolusi’ ini dalam lima tahun terakhir ini nampak semakin merebak saja, dalam bermacam bentuk dan sumbernya. By design? Mungkin! Bangsat-lah. *** (03-12-2019)
[1] Lihat, Eva Jablonka, Marion J. Lamb, Evolution in Four Dimensions, MIT Press, 2005, hlm. 109-111