23-11-2019
Kita seakan kehilangan suatu kualitas yang semestinya terus dikejar untuk menjadi ‘manusia yang baik’. Suatu yang bernilai tinggi. Itulah keutamaan (virtue), dan yang dibicarakan di sini bukanlah orang-per-orangnya, tetapi lebih pada yang hilir-mudik sedang menikmati posisi sebagai ‘pemimpin’ atau bahkan juga pada sebagian ‘figur publik’. Mengapa ini pantas dibicarakan? Karena seorang pemimpin itu adalah juga seorang ‘model’ bagi yang dipimpinnya. Menipisnya hasrat pada keutamaan bisa-bisa ‘menular’ pada yang dipimpinnya.
Pada literatur Barat dikenal adalah 4 keutamaan utama, four cardinal virtues, yaitu prudence, courage, temperance, dan justice. Kadang-kadang ada yang menambah dengan piety. Tentu ada keutamaan lain di luar empat atau lima keutamaan di atas, tetapi itulah yang utama, atau katakanlah mempunyai nilai tertinggi. Maka menjadi ‘orang yang baik’ kemudian bukanlah cek-kosong yang menunggu klaim saja, atau karena ia diglorifikasikan atau di-klaim-kan oleh para ‘pemuja’-nya dengan tiada henti sebagai ‘orang baik’ itu. Tetapi sebenarnya ia sebagai ‘orang baik’ itu erat terkait dengan bagaimana ia dihayati sebagai yang tiada lelah selalu mengarah pada keutamaan-keutamaan yang utama di atas. Semestinya. Dan tentu bisa juga lain ladang lain belalang, mana keutamaan yang utama bisa lain dari beberapa seperti disebut di atas pada komunitas lain.
Prudence tidak jauh-jauh amat dengan ‘empan-papan’ (Jw.), sesuai dengan tempat, situasi, dan waktunya. Tetapi ini bukan berarti berhenti masalah kebiasaan atau naluri kesopanan saja, ia kadang memerlukan juga pengamatan dan proses pertimbangan yang cermat sehingga mampu menetapkan sebuah respon tepat misalnya, dalam situasi, tempat, atau waktu tertentu. Salah satu penyebab sebuah negara jatuh pada ‘jebakan hutang’ misalnya, adalah meninggalkan keutamaan prudence itu. Prudence bukan soal ragu-ragu kalau ia tahu persis apa yang ia ragukan, atau sebaliknya, sok cepat karena ia tak paham apa-apa. Pemimpin yang paham apa yang sedang dipertaruhkan ia tidak akan meninggalkan keutamaan prudence ini.
Temperance adalah soal tahu batas, soal kendali diri. Ungkapan bahwa ‘untuk melihat seperti apa sejatinya orang, berilah dia kuasa’ adalah lebih pada soal temperance ini. Ini berarti pula sadar posisi, terutama posisi sebagai ‘model’ bagi yang dipimpinnya. Terlalu banyak sejarah mencatat bagaimana ketika keutamaan temperance ini dipinggirkan, maka segera saja nasib yang dipimpinnya itu sedang dipertaruhkan, selain meminggirkan prudence seperti sudah disebut di atas.
Courage adalah keberanian. Keberanian sebagai keutamaan tidak bisa lepas dari keutamaan lain, terutama soal prudence. Keberanian harus didasari adanya wisdom, adanya hikmat. Sedangkan keutamaan justice, keadilan, pertama-tama ia erat terkait dengan temperance, tahu batas. Orang yang menjadi begitu mudah ‘lompat-pagar’, jangan berharap orang itu akan mempunyai kualitas keutamaan keadilan. Piety adalah ketakwaan, kesalehan. Ia sangat peka terhadap suara hatinya, yang akan segera merasa malu atau merasa bersalah ketika ia melakukan hal yang berlawanan dengan suara hatinya, karena sadar bahwa Tuhan selalu ada di hadapannya.
Apa yang kita rasakan 5 tahun terakhir adalah, kok sepertinya sedang dibiasakan keutamaan-keutamaan itu semakin menghilang di ruang-ruang publik kita. Bahkan terutama itu berasal dari pemegang otoritas dan dari banyak ‘figur publik’ yang ‘dipelihara’-nya. Banyaknya kegelisahan yang muncul di ‘bawah permukaan’ menunjukkan ‘perlawanan pasif’ terhadap upaya ‘mediokerisasi’ hidup bersama ini. Bagaimana peristiwa Emil Salim yang diperlakukan tidak pada tempatnya oleh Arteria Dahlan, bagaimana penataan Sunter oleh pemprov DKI itu digoreng jauh melampaui realitasnya, sampai dengan bagaimana kasus Novel Baswedan yang diotak-atik secara ugal-ugalan, menunjukkan bagaimana banyak keutamaan semakin tersingkir. Dan masih banyaaaaak lagi contoh. Kok rasanya kita sedang dituntun menuju ke-‘bar-bar’-an saja. Sayangnya, dalam dunia bar-bar, kekuatan kekerasan-lah yang akan tampil paling depan. Terutama kekerasan yang akan dihidupi oleh kekuatan uang. Uang yang di abad 20, sebagian besar diperoleh dari laku licik-gelap. Bagaimana dengan abad 21 ini? Akankah segala kong-ka-li-kong di ranah kekuatan uang ini akan ‘bersimbiosis-mutualisma’ (lagi) dengan ranah kekuatan kekerasan? Jika ya, reformasi tidak hanya dikorupsi, tetapi dikubur (dalam-dalam). *** (23-11-2019)