21-11-2019
Dari ‘animal rationale’ ke ‘animal symbolicum’, demikian kiranya sebaiknya kita menghayati term Ernst Cassirer soal manusia sebagai animal symbolicum. Karena manusia berpikirlah ia kemudian membangun dunianya dengan bermacam simbol-simbol. Karena sudah sangat terbiasa dengan penggunaan dari hari-ke-hari, kita kadang lupa bahwa bahasa adalah juga salah satu dari simbol-simbol itu. Manusia berpikir, manusia marah, sedih, atau lainnya dengan rute tertentu ia akan merasa nyaman jika itu kemudian mewujud dalam bahasa. Penelitian Robert Levi tentang hipokognisi pada masyarakat Tahiti di sekitar tahun 1970-an sedikit banyak membuktikan hal ini.
Dalam pendidikan klasik dan yang pada Abad Pertengahan kemudian dikenal sebagai trivium-quadrivium itu, masalah terkait dengan dunia simbol dan proses berpikir mendapat porsi penting dan bahkan mendasar. Dalam trivium dikenal adanya logic, grammar, dan rhetoric. Logic menurut Miriam Joseph adalah merupakan art of thinking, grammar merupakan art of inventing and combining symbols, dan rhetoric merupakan art of communication. Sedangkan quadrivium terdiri dari arithmetic (theory of number), music (application of the theory of number), geometry (theory of space), dan astronomy (aplication of the theory of space).[1]
Sekilas bisa kita lihat bahwa apa yang ada dalam trivium itu erat dengan apa yang mendasari manusia menjadi manusia, yaitu berpikir, ber-simbol, dan berkomunikasi. Yang dimaksud dengan grammar tidaklah sebatas ‘tata-bahasa’ saja, tetapi dikenal juga apa yang disebut Miriam Joseph sebagai ‘general grammar’ yang ‘concerned with the relation of words to ideas and to reality’ atau katakanlah art of inventing symbols. Sedangkan yang disebut dengan ‘special grammar’ dimana dalam bahasa Inggris, atau Latin, atau Indonesia misalnya, bagaimana hubungan antara kata-katanya, atau art of combining symbols.
Dari hal-hal di atas maka sedikit banyak kita bisa meraba bahwa rhetoric itu bertumpu pada dua hal lainnya, logic dan grammar. Jika kita melihat jaman Yunani Kuno maka segera nampak pula bahwa dulu kaum Sophist juga mendasarkan akan hal itu, hanya saja ia secara licik menghilangkan salah satu esensi dari grammar-nya, yaitu kaitannya dengan ide-ide dan realitas. Maka jadilah kaum Sophist yang menjadi begitu hebat dalam art of combining symbols untuk membenarkan bermacam alur logika mereka.
Atau kalau mau melihat republik kontemporer, heboh mobil Esemka beberapa waktu lalu. Bagaimana the art of combining symbol itu dieksploitasi habis-habisan. Tidak hanya mengubur dimensi the art of inventing symbol, tetapi bahkan menguruk juga bermacam logika. Kegilaan yang terus melanjut sampai sekarang ini, kegilaan yang tidak hanya berhenti dalam eksploitasi the art of combining symbols itu, tetapi bahkan sudah semakin terasa sebagai asyik-keranjingan mempermainkan simbol. Bermacam simbol, dari kata sampai bermacam lagi. Berapa harga yang harus dibayar bangsa ini??? Bangsat! *** (21-11-2019)
[1] Miriam Joseph, The Trivium, The Liberal Arts of Logic, Grammar, and Rhetoric, Paul Dry Books, 2002, hlm. 3