20-11-2019
Setelah memimpin oposisi tahun 1975-1979, Margaret Thatcher menang pemilihan di tahun 1979, 40 tahun lalu. Thatcher berkuasa di Inggris sebagai PM sampai 1990 dengan memenangi tiga kali pemilihan. Dari Thatcher kita bisa belajar bagaimana sebenarnya seorang pemimpin itu harus berucap dan bertindak. Paling tidak mulai dari Thatcher menunjuk buku Hayek soal neoliberalisme dan berkata keras: “Ini yang kita percayai!’ -hampir 10 tahun sebelum ia menjadi PM untuk pertama kali, sampai ia lengser di tahun 1990, Thatcher menunjukkan konsistensinya. Termasuk konsistensinya sebagai seorang konservatif. Tentu kita boleh mengambil posisi yang berlawanan dengan yang diusungnya, neoliberalisme dan ke-konservatif-annya itu. Tetapi apapun itu, dari Thatcher kita bisa belajar bagaimana seorang pemimpin politik, sama juga jika kita bisa mempelajari pemimpin-pemimpin politik lainnya, atau juga bagaimana ‘pemimpin-pemimpin’ yang sekarang duduk sebagai Ketua MPR, DPR, DPD, dan bahkan Presiden. Juga para ketua-ketua partai itu.
Judul yang mengikutkan ’32 tahun lalu’ itu menunjuk salah satu pidato Thatcher di depan Partai Konservatif, Oktober 1987. Dan kita kaitkan dengan menurunnya secara drastis sekitar 50% anggaran untuk 2020 dibanding anggaran tahun 2019 untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
Dalam pidato Thatcher Oktober 1987 itu, salah satu bagiannya adalah soal pendidikan dan anak-anak. Dan dalam bagian itu Thatcher marah soal pandangan bahwa anak-anak mempunyai hak yang tidak bisa dicabut untuk menjadi gay. Thatcher berdiri sebagai seorang konservatif tulen dan melihat pandangan itu sebenarnya adalah sebuah laku curang. Bahkan laku curang terhadap anak-anak! “All of those children are being cheated of a sound start in life –yes cheated,”[1] demikian Thatcher dengan geram. Thatcher tidak hanya asal ngomong, ia menindaklanjuti dengan mengajukan undang-undang di tahun 1988 yang dikenal dengan Section 28 itu (merupakan bagian dari Local Government Act 1988), yang salah satunya melarang “promosi” homoseksualitas dari otoritas lokal dan di sekolah-sekolah Inggris. Sebuah terobosan yang tidak main-main bahkan dalam sejarah beratus tahun di Inggris.
Apapun dinamika bertahun kemudian setelah Thatcher mengintrodusir peraturan di atas, kita bisa belajar bagaimana seorang pemimpin itu betul-betul bersikap –bahkan all-out, dalam melindungi anak-anak generasi mendatangnya. Ketika Thatcher geram soal di atas, internet belum ada. Sosial media yang kita kenal sekarang ini, belum juga ada. Maka jelas tantangan dalam melindungi anak-anak kita terkait bagaimana mereka akan ‘dicurangi’ oleh para bangsat itu pada jaman now tentu membesar juga tantangannya. Apalagi jika otoritas juga dipegang oleh bangsat-bangsat pencari muka oportunis tulen, demi supaya dianggap demokratis salah satunya terus melupakan kewajiban melindung anak-anak generasi mudanya. Anak-anak kita yang dikorbankan. Sudah begitu, plonga-plongo tukang ngibul sok-sok-an saja kerjanya. Huassyuu! *** (20-11-2019)
[1] https://www.margaretthatcher.org/
document/106941