18-11-2019
Dalam dunia yang berlari semakin cepat ini rasa-rasanya menunda suatu hal bisa-bisa tiba-tiba harus minggir. Layaknya seperti ada ‘kesepakatan tidak tertulis’ misal saat kita naik eskalator, berdirilah di sebelah kiri karena sebelah kanan adalah untuk yang tidak hanya berdiri, tetapi setengah berlari. Dan tidaklah salah hal itu sebab kadang sebuah kesempatan emas itu hanya sekali hadirnya. Yang serba cepat itu semakin menjadi ‘rutinitas’ baru. Produksi massal di pabrik-pabrik itu semakin berat tantangannya sebab ia dituntut juga sifat fleksibilitasnya dihadapan dinamika konsumen yang bisa cepat berubah juga.
Kecepatan memang bisa merubah banyak hal. Fakta dari mulai ditemukannya mesin uap, listrik, mobil, pesawat, dari telegraph-telepon-sampai internet. Ketika rombongan penari Jogja itu menari di Belanda diiringi dengan gamelan yang ditabuh di Jogja dan disiarkan lewat radio, saat itu jelas momen yang menggetarkan bagi yang terlibat. Dan sekarang, ada demo di Hongkong misalnya, pada saat yang sama kita bisa melihat dan mendengarnya. Kecepatan-kecepatan itu selain membawa banyak kemajuan tetapi juga seakan mencabut manusia-manusia dari keberakarannya selama ini. Kegelisahan ini bisa memungkinkan diambilnya jalan shortcut, yaitu menguatnya ‘identitas-identitas’ untuk mengisi ‘gap’ tersebut. Kecepatan tidak hanya kemudian bisa berujung pada menguatnya identitas, tetapi juga banyak mengikis soal ‘kedalaman’. Tentu sebagian besar hidup kita mau-tidak-mau akan harus ikut dalam genderang yang semakin cepat itu, dengan segala konsekuensinya. Tetapi dalam hidup bersama tetap haruslah ada kemampuan untuk menunda. Bahkan dalam hidup pribadi sekalipun. Dan ini akan menjadi berbeda satu orang dengan yang lain, terutama jika kita membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin meski ia ada juga dalam dunia yang serba cepat ini, ia harus mempunyai kemampuan menunda lebih dari yang dipimpinnya.
Menunda dalam hal ini bukan berarti membiarkan, atau pasrah, atau santai-santai-enak-enak-an. Menunda dalam hal ini adalah apa yang nampak itu kita tunda dulu, kita tunda prasangka-prasangka kita dulu, yang nampak itu kita beri dulu ‘tanda kurung’. Kesadaran selalu berarti ‘kesadaran akan sesuatu’. Bahkan jika sesuatu itu adalah ingatan kita sendiri, atau bahkan sebuah angan-angan. Sebagian besar dalam hidup kita akan ‘taken for granted’ akan penampakan sesuatu. Tetapi pastilah dalam hidup kita akan berjumpa dengan penampakan sesuatu yang mengusik kita untuk tidak sekedar bersikap ‘taken for granted’. Sesuatu itu kemudian kita ‘tunda’ dulu, kita beri ‘tanda kurung’ dulu seperti disebut di atas. Kita ‘netral’kan dulu prasangka-prasangka yang ada sebelumnya entah itu yang datang dari kebiasaan, bacaan, atau lain-lainnya. Kita ‘netralkan’ dulu. Hampir mirip dengan ‘ke-ragu-ragu-an’nya Cartesian, tetapi beda. Kita hanya menunda saja, suspend.
Suatu hal ‘memberikan dirinya’ pada (kesadaran) kita dengan ‘penampakan’ tertentu. Dengan melakukan ‘suspend’ dan dengan pemahaman bahwa sesuatu itu menampakkan dirinya pada kita maka adalah penting untuk kita ‘kembali pada sesuatu’ itu dulu, ‘back to the things themselves’. Ketika kita melihat kubus, ia sebenarnya hanya menampakkan satu sisinya secara penuh pada kita. Yang lainnya saat itu sedang absen dalam penampakannya. Tetapi meski begitu kita-pun segera tahu bahwa itu adalah kubus berdasarkan pengalaman masa lalu atau lainnya. Nah, ‘kesimpulan’ bahwa itu kubuslah yang kita tunda dulu. Karena kita paham bahwa ‘kesimpulan’ bahwa itu adalah kubus sebenarnya kesimpulan dari yang ‘present’ dan ‘absent’. Gabungan antara yang ‘present’ dan ‘absent’. Menurut Fenomenologi, intensionalitas kita pada sisi present ini disebut sebagai filled intentions, sedang pada yang absent disebut sebagai empty intentions, co-intend. Dan persepsi kita, subyektifitas kita, adalah erat terkait dengan gabungan keduanya.
Untuk lebih menguak apa sejatinya yang kita hayati sebagai kubus dalam modus taken for granted itu, kita bisa menggeser ke sisi lain. Dan yang apa tadi absent, sekarang menjadi present, dan yang tadi present dengan menggeser pandangan kita maka kemudian menjadi absent. Tentu tidak hanya menggeser pandangan, tetapi kita bisa merabanya juga, membau, merasakan, mendengar, mengetuk, dan seterusnya. Pada titik tertentu kita bisa melihat kubus itu hanyalah sebuah bujur-sangkar. Tetapi ketika kita geser sedikit posisi kita, tiba-tiba saja ia nampak seperti jajaran-genjang. Jadi dengan cara lain saat kita menghayati kubus itu, maka kubus akan juga memberikan aspect tertentunya. Cobalah kita menutup mata sebentar dan membuka mata lagi tanpa merubah posisi kita, maka kita akan melihat lagi aspect yang sama yang ‘diberikan’ kubus pada kita. Menurut Sokolowski, the aspect itself can be given to me as an identity through a manifold of temporally different appearances.[1] Setiap moment penampakan dari aspect ini dinamakan profile atau bisa dikatakan juga sebagai sebuah ‘sketsa’ dari kubus. Dari beberapa hal di atas maka kita paling tidak sudah mengenal adanya sisi (sides), aspect, dan profile. Selain juga present dan absent.
Coba kita libatkan yang bukan kubus, tetapi katakanlah sebuah bangunan. Kita melihat dari sisi depan, dan aspect-pun diberikan oleh kubus, secara serial ketika kita menutup mata dan mebuka mata, berkali-kali, tetapi dalam posisi yang sama. Lalu kita minta orang lain melihat gedung itu persis di tempat kita berdiri. Mungkin orang itu akan melihat sisi dan aspect yang sama, tetapi menurut Sokolowski, soal profile bisa berbeda tergantung orang-per-orang. Mungkin orang itu sedang pusing, atau kacamatanya ketinggalan, atau karena hal lain. Sides dan aspect yang diberikan oleh gedung itu bisa sama, tetapi bisa berbeda secara subyektif terkait dengan profile-nya.
Sekarang kita melihat sebuah mobil di showroom mobil bekas. Ketika kita melihat sebuah mobil, kita melihat secara pasif bagaimana mobil itu menampakkan dirinya. Kita lihat dari depan, belakang, samping, dan seterusnya. Kilau catnya dan lain-lain. Tiba-tiba saja perhatian kita tersedot pada satu titik yang nampak berbeda catnya. Kita dekati dan semakin jelas beda dengan sekitarnya agak melebar. Kita lihat dari samping, dari depan bagian itu. Kemudian kita mundur dan melihat lagi mobil secara keseluruhan. Sekarang dengan penghayatan keseluruhan yang telah ‘diperkaya’ dengan adanya bagian yang beda itu, dan dengan itu pula kemudian kita menarik kesimpulan bahwa mobil itu pernah tabrakan. “Pernah tabrakan’ ini sudah melibatkan proses berpikir, yang itu bisa saja salah atau bisa benar. Maka kadang kita perlu periksa lebih dalam lagi, entah dengan membuka pintu atau diskusi dengan teman atau salesmannya.
Atau coba kita lihat video yang menampakkan kedamaian penataan dan relokasi di Sunter baru-baru ini. Kita coba mencari sudut pandang lain dari video lain yang menampakkan ricuhnya penataan itu. Ketika kita bandingkan penataan-penataan yang sudah terjadi di masa lalu, mungkin ada bagian yang menyedot perhatian lebih, yaitu minimnya sosok polisi dan tentara yang terlibat dalam penataan Sunter itu. Atau penampakkan saluran air dengan air warna hijau setelah penataan itu. Mungkinkah banjirnya di sekitar saat musim hujan disebabkan karena tertutupnya atau menyempitnya saluran air ini? Yang itu jelas absent saat dilaksanakan penataan Sunter itu. Yang absent juga saat itu adalah orang-orang yang sungguh berusaha banting-tulang dan berhemat untuk dapat membeli sepetak ruang sebagai tempat berusaha sesuai dengan aturan yang ada. Atau bermacam hal lain lagi? *** (18-11-2019)
[1] Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology, Cambridge University Press, 2000, hlm. 19