15-11-2019
“When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion,” demikian Stanley Milgram mengutip ungkapan C.P. Snow (1961) di bagian awal bukunya Obedience to Authority, An Experimental View (1974). Tahun-tahun setelah Perang Dunia II ada beberapa tulisan, eksperimen, laporan yang menyoroti soal ‘ke-tidak-berpikiran’. Mungkin ini erat terkait dengan segala kekejaman yang terjadi selama dua Perang Dunia, terutama Perang Dunia II. Kutipan di atas menyoroti soal obedience, ketaatan, loyalitas. Benarkah pada dirinya sendiri obedience itu bisa sedemikian mempengaruhinya sehingga memicu kelamnya sejarah manusia?
Apakah manusia sekedar homo economicus? Atau homo faber, homo ludens, atau yang lainnya? Terlalu banyak dimensi manusia sehingga tidaklah mudah untuk ‘digolongkan’ dalam satu dimensinya saja. Sama saja ketika kita bicara soal obedience yang kemudian dikaitkan dengan the long and gloomy history of man itu. Atau cobalah masuk lebih dalam pada suatu pertanyaan, apakah seorang dengan bom bunuh diri yang membunuh banyak orang tidak bersalah itu adalah orang yang berani sehingga bisa disebut ‘pahlawan’? Bahkan ketika ia si-pelaku mengatasnamakan ini dan itu? Kadang suatu hal ditulis itu dalam keadaan ‘ceteris paribus’, hal lain di luar dianggap konstan. Padahal dalam kehidupan senyatanya, kadang yang dianggap konstan itu sering penuh gejolak. Masalahnya, ketika semua variabel harus diperhitungkan, kadang memang malah nggak sampai-sampai. Repot memang. Maka supaya tidak tenggelam dari satu sudut pandang tertentu yang mana itu sebenarnya ada dalam kandang ‘ceteris paribus’, kemampuan berpikirlah kadang yang hanya tersisa untuk dapat meloloskan diri dan mengambil sisi produktifnya. Atau juga meloloskan diri melalui ‘lubang’ inter-subyektifitas, dan jika ini yang ditempuh, keterbukaan adalah syarat utamanya.
Ketaatan dalam arti tertentu adalah salah satu ‘mekanisme pertahanan’ penting bagi manusia untuk survival, untuk bertahan hidup. Bahkan Amy Chua dalam Political Tribes (2019) pada kata awalnya sudah menegaskan, humans are tribal.[1] Adakah yang tribal itu jika tidak ada ketaatan? Maka sebenarnya ketaatan itu adalah ‘gejala’ keseharian saja yang dengannya manusia justru bisa lebih berkembang, energi hidup sebagian bisa dihemat dengan ‘mekanisme’ ketaatan itu. Ketaatan dalam banyak hal membantu manusia menyederhanakan hidup. Lalu bagaimana kita menghayati ketaatan ini sehingga tidak menjadi ‘tertuduh’ akan berkembangnya the long and gloomy history of man itu?
Lawrence Kohlberg memberikan masukan dalam bahasan ini terkait dengan teori perkembangan moralnya. Yang perlu kita perhatikan di sini adalah, misal, boleh sama-sama penampakannya itu adalah ‘ketaatan’, tetapi akan terbedakan ‘moralitas taat’ itu dari proses penalaran terkait dengannya. Jadi bukan semata bagaimana taat itu diajarkan/dijalankan, tetapi bagaimana proses penghayatannya yang melibatkan kemampuan bernalarnya. Tidak hanya sekedar takut akan hukuman, atau akan mengambil manfaat dari ketaatannya itu, atau ingin dilihat sebagai ‘good boy/girl’, tetapi semakin mengarah bahwa ia taat karena ia melihat pada dirinya hal itu (taat, misalnya) adalah baik, dan ia kemudian memilih untuk taat, misalnya. Paulo Freire menunjukkan bagaimana ‘distorsi’ dari ketaatan itu bisa terjerumus ke fanatisme, dan akhirnya bisa melanjut pada massifikasi. Dan sayangnya justru itu terjadi pada yang sebenarnya telah ‘mengatasi’ kebutuhan ‘biologis’-nya. Ini terjadi, menurut Freire, yaitu ketika orang sudah sampai pada kesadaran transitif-naif tetapi tidak berkembang menjadi kesadaran transitif-kritis.[2]
Peran rasio ini tidak harus bertabrakan dengan penghayatan iman, dan tidak harus pula disyaratkan ketika orang memilih untuk taat pada Tuhan-nya. Tetapi meski begitu upaya untuk lebih mengerti, lebih memahami apa yang diimani itu juga merupakan anugerah dari Sang Pencipta juga. Kita tidak masuk dalam bahasan ini, tetapi lebih bahwa pada bagaimana hal taat itu mempunyai juga dimensi rasionalitasnya juga, dimensi wisdom-nya juga, dimensi hikmat-nya juga, sehingga kita tidak menjadi begitu mudah ditelikung demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘permainan menjadi semakin tidak mutu’ adalah ketika ‘dataran-ketidak-berpikiran’ –dalam rutinitas keseharian, misalnya, ini tidak hanya ditelikung habis-habisan, tetapi juga dipupuk dengan bermacam ungkapan yang tidak mencerdaskan. Para ‘penelikung rutinitas’ yang seakan sudah seperti binatang buas yang serba egois. Tidak hanya para buzzer-buzzer peliharaan yang seakan kebal hukum itu, tetapi juga banyak di jajaran pemerintahan juga. Dari yang vulgar dengan diksi brutal dan preman, atau gigit atau bocar-bocor itu, sampai dengan yang plinthat-plinthut-nya soal data. Atau pernyataan-pernyataannya yang ngawur. Tentu dalam politik ada yang namanya manajemen isu, termasuk di dalamnya pengalihan isu. Tetapi rasa-rasanya, seakan itu sudah semakin berjalan tanpa tanggung-jawab dan ndèk-ndèk-an, tidak berkelas dan seakan tanpa beban, atau karena begitu tidak peduli dan bodohnya? Cobalah lihat lebih dalam lagi misalnya, ada apa dibalik majunya anak-mantu presiden dan wakil presiden maju sebagai eksekutif itu? Apa yang sedang ‘dibiasakan’ dengan laku itu? Prakondisi buat apa, buat siapa? Tentu itu adalah juga hak, tetapi tetap saja rasanya ‘permainan menjadi semakin tidak mutu’. Maka benar kata Napoleon, ‘when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity’. Atau dalam bahasa Jawa: ‘Ngono yo ngono ning ojo ngono’, cuk. Kita mesti menaruh perhatian lebih terhadap gejala ini. Mengapa? Karena ujung di sononya itu ada bayang-bayang yang semakin nampak jelas, yaitu munculnya (kekuatan) kekerasan sebagai ‘anak-salah-proses’ itu. *** (15-11-2019)
[1] Amy Chua, Political Tribes. Group Instinct and The Fate of Nations, Penguin Books, 2019, hlm. 1
[2] https://www.pergerakankebangsaan.
com/422-Dari-Freire-ke-Milgram/