10-11-2019
Pendapat Emrus Sihombing, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan terkait perbedaan soal 'desa fiktif' antara Sri Mulyani dan Abdul Hakim Iskandar sangat menarik. Emrus Sihombing menilai bahwa perbedaan pandangan ini harus dipertanggungjawabkan ke publik.[1] Lebih lanjut ditekankan bahwa jika ditemukan bahwa data mereka tidak benar-benar valid, maka yang kalah harus secara ksatria mengundurkan diri dari kabinet.[2]
Baru-baru ini data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS mengalami keretakan kredibilitasnya. Ia dipertanyakan oleh banyak pihak. Lembaga di luar negeri yang kredibel ternyata juga ikut mempertanyakan. Atau lihatlah laporan keuangan Garuda Indonesia yang sebelumnya dilaporkan membukukan keuntungan Ro 70 milyar itu, kemudian dalam ‘edisi revisi’-nya, restatement-nya ternyata merugi sampai 2,4 triliun rupiah itu. Belum lagi carut-marut soal DPT dalam pemilihan umum lalu. Atau lihat bagaimana soal carut-marut data soal guru-guru itu, yang dibongkar oleh Anies Baswedan saat menjabat Menteri Pendidikan, yang berakibat salah hitung anggaran tunjangan guru sebesar 23,3 triliun itu di tahun 2016 lalu. Atau juga data-data yang tersimpan dalam e-KTP itu, kapan bisa dinilai oleh publik sebaran dan keakuratannya?
Data ibarat sesuatu yang berwajah ganda. Janus face. Di satu sisi ia akan membantu banyak hal demi kemajuan, tetapi di sisi lain ia bisa sebagai alat utama menipulasi. Lihat apa yang juga dilakukan oleh sebagian besar para konsultan politik itu ketika pemilihan akan, sedang, dan sudah digelar.
Jika meminjam pembedaan Albert Camus, data-data itu bisa sebagai titik temu dari dua kejahatan, kejahatan hasrat dan kejahatan logika, the crime of passion dan the crime of logic. Camus menulis pembedaan kedua jenis kejahatan itu dalam The Rebel, dan terbit di awal-awal ‘perang ideologis’ yang intens di pertengahan abad 20, antara Blok Barat dan Blok Timur. Maka tidak mengherankan jika ‘kejahatan logika’ itu digambarkan juga erat terkait dengan segala pembenaran-pembenaran ideologis. Sebuah ‘story-telling’ dengan background dinamika ideologi.
Meki sudah hampir 60 tahun sejak Daniel Bell mempublikasikan The End of Ideology, bukan berarti pembicaraan soal ideologi terus menghilang. Tetapi meski begitu dengan runtuhnya Tembok Berlin sekitar 10 tahun sebelum Pak Harto dipaksa mengundurkan diri, pembahasan soal ideologi memang agak berkurang intensitasnya. Tetapi apa yang disebut oleh Camus sebagai ‘kejahatan logika’ itu bukannya juga terus berkurang. Semakin menguat ‘kejahatan logika’ itu kemudian tidak mendasarkan pada ideologi semata, tetapi salah satunya adalah: data. Lihatlah sebagai contoh apa yang terjadi soal Perang Irak itu, bagaimana spin terkait senjata pembunuh massal itu dimainkan. Atau ‘data-data’ soal radikalisme, dan bahkan itu di republik!
Jika Barat kita sebagai lihat salah satu akar budayanya adalah Yunani Kuno, maka soal bagaimana semestinya ketika berhadapan dengan data mereka telah terlatih selama paling tidak 2000 tahun. Ini bisa kita lihat terkait dengan doxography. Doxography merupakan salah satu cara penulisan dengan menulis dulu pendapat-pendapat, atau teori-teori sebelumnya dan baru kemudian menulis pendapatnya sendiri. Dengan itu pula beberapa pendapat dari para filsuf atau sejarahwan yang sudah tidak ada bukti fisiknya (yang asli ditulisnya sendiri), masih bisa terlacak melalui penulis-penulis sesudahnya. Tetapi lebih dari itu, jika adanya pendapat atau teori sebelumnya itu adalah sebuah data, bagaimana memperlakukan data-data itu secara pada tempatnya, entah itu untuk dibantah atau diperkuat, adalah sebuah sikap yang baik. Dan mungkin juga ia yang sekarang sudah sampai pada menulis pendapatnya sendiri, ia akan lebih hati-hati karena ia akan paham bahwa apa yang akan ditulisnya itu akan menjadi bahan bagi yang lain (nantinya), baik untuk dibantah, dikoreksi, atau untuk memperkuat. Pada titik ini maka keinginan soal presisi, akurasi, dan moralitas yang mendukung di belakangnya mulai terbangun. Sengaja atau tidak. Atau lihat bagaimana istilah ‘devil’s-advocate’ itu muncul pada awalnya.
Albert Camus menerbitkan The Rebel sekitar tahun 1950-an, yang mana bayang-bayang kekejian holocaust masih begitu membayang. Maka tak heran jika the crime of passion itu juga dekat dengan aroma kematian. Mungkin sekarang bisa lebih menghayati jika the crime of passion itu lebih ber-aroma kegilaan soal fulus. Tentang perebutan sumber daya. Dalam konteks inilah kita bisa melihat lebih dalam soal 'desa fiktif' itu, sebuah kejahatan logika dan kejahatan hasrat yang berimpit erat. Dan sebenarnya juga kita sedang melihat sebuah gunung es. Tidak hanya itu, gunung es yang sedang diselimuti awan. Awan yang muncul dari mulutnya pemimpin yang di sana ngibul, di sini ngibul. Di mana-mana sukanya ngibul.
Di hari Pahlawan ini, bahkan untuk memperoleh data yang akurat-pun kita masih berharap hadirnya seorang pahlawan. *** (10-11-2019)
[1] https://politik.rmol.id/read/2019/
11/10/409544/data-abdul-halim-dan-sri-mulyani-harus-diadu-yang-kalah-mundur
[2] Ibid