17-10-2019
Can Subaltern Speak? adalah esai yang ditulis oleh Gayatri Spivak di tahun 1983. Dan apakah jika mempunyai kemampuan masuk secara produktif di pasar, akankah ini juga memberikan dasar kuat bagi subaltern menjadi lebih mampu bicara? Menurut Paulo Freire, kesadaran semi-transitif dalam masyarakat bisu dan kemungkinan berkembangnya menjadi kesadaran transitif lekat dengan soal lingkungan biologis-nya.[1] Dan lingkungan biologis terdekat adalah tubuh mereka sendiri.
Ketika kita dibanjiri bermacam parade data-data out-put, tiba-tiba saja penghargaan Nobel di bidang ekonomi tahun 2019 yang jatuh ke ‘trio Nobelis’ - Abhijit Banerjee, Esther Duflo, Michael Kremer, seperti mengingatkan betapa pentingnya masalah input dan tentu juga proses. Dan ini soal ‘input’ paling penting: manusianya. Contoh soal ‘input’ terkait dengan manusia ini, ketika dalam politik begitu compang-campingnya dalam masalah input (manusianya) itu, kita bisa melihat dan merasakan sendiri bagaimana ujung akhir out-come nya. Kasarnya, garbage-in, garbage-out.
Pesan di balik genderang perang melawan KKN bukanlah soal pertalian darah, tetapi sebenarnya soal input itu: jangan sampai yang garbage justru yang ‘in’. Desakan untuk menghapus Ujian Negara sebenarnya adalah desakan untuk lebih melihat dengan sungguh serius soal input dan proses. Juga soal masalah guru honorer adalah masalah input.
Jika kita lihat lebih jauh, esensi dari pasar adalah distribusi kekayaan. Dan bagaimana melalui adanya pasar itu, semua bisa mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya, termasuk bagi yang miskin. David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005) mengutip pernyataan Margaret Thatcher sebagai berikut: “Economics are the method, but the object is to change the soul.”[2] Jelas Thatcher sedang menempatkan soal input sebagai hal yang sangat mendasar. Yang dibayangkan Thatcher tentu adalah pasar bebas a la neoliberalisme, lepas kita setuju atau tidak, tetapi tentu kita akan setuju dengan pendapat Thatcer di atas jika bicara soal pentingnya input.
“In fact, the INPRESS (Instruksi Presiden or Presidential Instruction) program was a great success: To evaluate it, Esther compared the wages of adults who, as children, were young enough to have benefited from the newly constructed schools to what the immediately older generation (people who were just old enough to have missed their chance to go to these shools) was earning. She found that relative to the older generation, the wages of the younger one were significantly higher in areas where more schools were constructed. Putting together the effect on educetion and on wages, she concluded that every extra year of primary school due to the new school raised wages by about 8 percent. This estimate of the returns to education is very similar to what is commonly found in the United States.[3] Kutipan ini adalah sebagian dari penelitian Esther Duflo di Indonesia, beberapa tahun sebelum krisis moneter.
Di belakang Politik Etis adalah juga masalah mempersiapkan input yang ‘kompatibel’ dengan kepentingan penjajah. Tetapi hadirnya guru-guru Barat itu ternyata juga membawa yang lainnya, yaitu jiwa terbuka, terus ingin mengeksplorasi, dan lain-lain. Dan itu seakan menjadi model bagi sebagian peserta didik. Inilah mungkin ‘hidden curriculum’ yang tidak terduga di luar keinginan Politik Etis itu sendiri. Maka tak mengherankan ketika Menteri Pendidikan Finlandia ditanya soal ‘resep’ keberhasilan pendidikan dasarnya, dijawab: “Teacher, teacher, teacher.” Tentu di Finlandia tidak ada masalah lagi soal anak-didik datang ke sekolah dengan perut kosong, sakit-sakitan, atau orang tua yang tidak mampu menyekolahkan atau bahkan tidak percaya akan kebaikan pendidikan karena belitan kemiskinan.
Maka input pendidikan-pun harus melihat soal ini, sudahkah murid datang dengan perut berisi? Dan bergizi? Sehatkah atau sakit-sakitan? Bagaimana dengan kondisi di rumahnya? Selanjutnya kita lihat juga prosesnya. Jangan sampai ketika anak sudah sampai di sekolah justru ‘dibantai’ dengan proses yang tidak benar. Pendidikan jelas sudah terbukti ikut meloloskan banyak orang dari belitan kemiskinan, maka masalahnya adalah, pendidikan yang bagaimana?
Yang tidak boleh dilupakan adalah soal ekspektasi, harapan. Melawan KKN adalah sebenarnya juga merawat harapan. Ketika seorang sudah bersusuh-payah belajar ini-itu, melatih ini-itu, harapan menipis ketika KKN justru yang merebak. Di sinilah kita bicara soal hubungan antara market dan power. Ketika petani bekerja keras untuk mengambil kesempatan memperoleh kesejahteraan di pasar, harapan bisa terus-menerus menipis karena pasar justru dikendalikan oleh para oligark-pemburu rente, misalnya. *** (17-10-2019)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.
com/422-Dari-Freire-ke-Milgram/
[2] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.
com/199-Metode-Jiwa-Belajar-Dari-Thatcher/
[3] Abhijit Banerjee, Esther Duflo, Poor Economics, A Radical Rethinking Way To Fight Global Poverty, Public Affars, 2011, hlm. (Part I, Ch. IV)