15-10-2019
Kalau meminjam kacamata Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-first Century (2014), mungkin tidak hanya Kurva Kuznets yang merupakan fairy tale, tetapi juga ‘too-big-to-fail’ itu. Dongeng yang juga telah mengharu-birukan dan sungguh membebani rakyat Indonesia terkait dengan BLBI, misalnya.
Baik Kurva Kuznets dan too-big-to-fail adalah alat legitimasi untuk melakukan sesuatu. Harus diakui, ‘mereka’ sangat pandai untuk membuat dongeng itu, salah satunya karena mereka punya ‘anak-anak-ideologis’ yang tersebar dimana-mana. Too-big-to-fail adalah ketika krisis, korporasi-korporasi raksasa itu harus diselamatkan oleh negara melalui tangan pemerintah saat itu karena bla-bla-bla. Ketika krisis kadang pemerintah membuka lapangan kerja misalnya dengan membuat proyek-proyek yang banyak melibatkan warga-negaranya sendiri (bukan warga negara asing), atau padat-karya sehingga rakyat bisa melalui krisis ini dengan tetap ada uang tunai di tangan yang berasal dari negara melalui proyek-proyeknya. Mungkin korporasi itu juga berpikir, mengapa tidak melalui saya? Karena jika korporasinya dibiarkan bangkrut, reaksi berantai akan terjadi dan kerusakan akan semakin besar dan kelanjutannya adalah bla-bla-bla. Demikian dongeng mereka, dan itu sangat bisa disampaikan dengan memukau sehingga kadang menyembunyikan perilaku gelap yang membonceng.
Di ruang dokter-perawat di ICU sebuah rumah sakit, tiba-tiba saja wajah-wajah mereka berubah cerah. Mengapa? Karena diberitahu bahwa salah satu pasiennya sudah kentut. Ada seorang ‘peneliti’ yang kebetulan melihat peristiwa kegembiraan itu, dan ingin meneliti mengapa kentut dapat memberikan suasana gembira. Maka ia menelisik hal-ihwal kentut itu. Ia tanya baunya, tipe bunyi apakah dhuuut atau prèèèt, atau bahkan keluar diam-diam. Juga durasi lamanya kentut dan berapa kali kentut, tentu juga ‘skala bau’-nya. Akankah ‘peneliti’ itu akan menemukan korelasi antara kentut dan gembiranya dokter-perawat itu? ‘Peneliti’ itu lupa bahwa kentut itu berasal dari pasien pasca operasi luka tusuk di perut.
Tadi siang tiba-tiba saja masuk pasien dengan luka tusuk di perut karena ketika ia sedang main-main dengan pisau kecil dan entah bagaimana pisau itu malah menusuk perutnya. Segera ia dibawa ke UGD dan pengantar minta supaya si dokter-A untuk menyelamatkan jiwanya. Maka dokter-A itu segera membaringkan di meja periksa dan segera memeriksa dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Si pengantar dongkol, dan tanya ke dokter A, apa yang sedang dikerjakan? “Lukanya di perut, dok!” kata si-pengantar ketus. Dokter-A dengan tenang menjawab: “Tenang, saya sedang mencari jiwa Pak Wé ini, ntar kalau sudah ketemu akan saya selamatkan...” Untung dokter kepala UGD melintas dan segera mengambil alih. Dia minta ke dokter-A istirahat karena sudah jaga lebih dari 48 jam tanpa henti, dan dia sendiri yang kemudian menangani Pak Wé, khawatir jika ada perdarahan sampai lebih dari 2 liter, organ-oragan vital akan rusak dan pasti akan sangat sulit untuk diselamatkan lagi. Segera ia buka perut Pak Wé di meja operasi, dan ternyata ada usus yang ikut luka, dipotong, dan disambung, tutup luka. Kirim ke ICU untuk pengawasan post-op nya, dan pasien inilah yang membuat dokter dan perawat gembira ketika ia kentut.
Atau ada tendangan Drogba yang membobol gawang David de Gea. Lintasan bola melengkung dan bola berputar pada axisnya dengan cepat. Mengarah ke pojok kanan atas dan dengan kecepatan luar biasa. Dan gol itu tidak hanya disambut gegap gempita di Stamford Bridge, tetapi juga memicu parade besar-besaran dan kafe-kafe di sebagian kota London itu seakan pecah penuh sesak. Seorang peneliti dari Mars terkagum-kagum, dia kemudian memungut bola, mengukur kecepatan, mereka-ulang lintasan dan memeriksa dengan teliti kaki Drogba dan tangan de Gea. Ia membawa data-data itu ke Mars dan diteliti di laboratoriumnya data-data tersebut untuk mengatahui mengapa gol itu membuat orang begitu gembiranya. Ketemu jawabannya?
Buku Gilbert Ryle The Concept of Mind (1949) mempunyai fokus pada apa yang ia sebut sebagai kesalahan kategoris (category-mistakes), dan di atas adalah contoh-contohnya.
“Kita akan wujudkan masyarakat Pancasila di NKRI ini!!!” demikian teriak salah satu kontestan. Dan dia tidak omong kosong saja, maka disuruhnya lembaga survei meneliti pengetahuan rakyat soal Pancasila, dari Sabang-Merauke. Dari pojok pasar tradisional sampai mall-supermall. Dari PAUD sampai perguruan tinggi, dan kemudian disimpulkan bahwa masyarakat Pancasila akan terwujud jika setiap hidung hapal Pancasila dan melaksanakannya. Ketika ia terpilih maka ia bertekad untuk ‘mengejar’ setiap hidung itu untuk hapal dan melaksanakan Pancasila. Lembaga khusus, program dan juklak-juknis dibuat sedetail mungkin sehingga khalayak tidak salah dalam berperilaku. Lupa bahwa Pancasila itu adalah kesepakatan atas pertanyaan “atas dasar apakah negara ini akan dijalankan?’ Artinya, hal hapal dan terlebih melaksanakan Pancasila itu adalah pertama-tama untuk dia jika ia terpilih mengurus negara. Melaksanakan Pancasila melalui keputusan, kebijakan, dan tindakan-tindakannya sebagai penyelenggara negara. Khalayak pada tahap minimal dengan taat atas kebijakan yang dibuat penyelenggara negara, ia sebenarnya sudah melaksanakan Pancasila.
“NKRI terlalu besar untuk gagal!” demikian kata si-penerima ‘bantuan legitimasi suara rakyat’ dari Bank Sentral Suara Pemilih itu ketika mau masuk dalam pemerintahan. Dan kita wajar khawatir juga dengan mengingat segala akibat dari kasus-kusut BLBI bertahun lalu itu. *** (15-10-2019)