29-09-2019
Jika titik A adalah full alamiah dan titik B adalah full campur tangan manusia, maka kapitalisme lebih condong mengarah ke titik A dan sosialisme lebih condong mengarah ke titik B. Kapitalisme bahan bakar utamanya adalah gejolak hasrat orang-per-orang, sedangkan sosialisme adalah soal hidup bersama. Dalam kapitalisme gejolak hasrat orang-per-orang itu sering disebut kepentingan diri, atau self-interest. Tetapi mengapa kapitalisme yang meski condong mengarah pada apa yang dibayangkan oleh Thomas Hobbes, state of nature, dimana semua-lawan-semua itu, suka-atau-tidak, di banyak negara berhasil membawa kemakmuran bagi banyak rakyatnya?
Imajinasi memegang peran penting dalam kapitalisme, paling tidak menurut Adam Smith. Manusia dari awalnya memang mempunyai perasaan yang sekarang kita sebut sebagai empati, atau dulu disebut Adam Smith sebagai simpati. Bahkan ketika kita sedang berjalan-jalan, mendengar anak kucing meang-meong seperti kehilangan induknya-pun kita akan tergerak, apalagi suara tangis bayi manusia. Simpati menurut Adam Smith akan selalu melibatkan kemampuan mengembangkan imajinasi. Kita membayangkan jika ada dalam posisi orang itu, dan membayangkan pula respon yang terbangun jika ada di posisi orang tersebut.
Adanya simpati inilah menurut Adam Smith meski orang-per-orang itu didorong mengejar self-interest masing-masing, tertib tatanan relatif tetap terjaga. Dan menurut Smith, ketika orang-orang dibebaskan mengejar kepentingan diri mereka, self-interest mereka, maka kesejahteraan umum akan tercapai sebagai ‘konsekuensi yang (sebenarnya) tidak dituju sejak awal’.
Bahkan Montesquieu sebelumnya menegaskan, apa yang dibayangkan Adam Smith itu jika terjadi dalam perdagangan, hal-hal tersebut akan mendorong berkembangnya peradaban. Tulisan ini lebih akan menyinggung soal simpati terkait dengan kapitalisme. Suka atau tidak, sebenarnya dari hari-ke-hari kita telah akrab dengan kapitalisme itu, dan tentu ada variannya, atau di sana-sini ada juga ‘napas sosialisme’nya. Dan juga apa yang sering disebut sebagai negara-negara makmur di planet ini, sekali lagi suka-tidak-suka, kebanyakan jalan kapitalislah yang ditapak. Masalahnya, kapitalisme yang bagaimana? Jika awal penyebutan nama kapitalisme sebagai sebuah alat analisis yang paling tidak ia sudah berumur 200 tahun, dan selama rentang itu pulalah bermacam spektrum kapitalisme sudah ‘di-uji-coba’kan. Baik dengan ‘bantuan’ sosialisme-komunisme maupun dengan bermacam krisis ataupun bahkan perang yang terjadi.
Yang perlu diperhatikan lebih di sini adalah menurut Smith seperti dikutip oleh Herry B. Priyono, “kita mendapat simpati lebih kecil dari seorang kenalan biasa daripada dari seorang sahabat,” dan “kita menerima simpati jauh lebih kecil lagi dari orang-orang tidak kita kenal.” Di lain pihak, keutamaan penguasaan diri (self-command) yang sentral dalam kehidupan moral biasanya jauh lebih berkembang bila seseorang berada di bawah sorot mata orang-orang yang tidak ia kenal: “Selalu dari orang yang tidak kita kenal, dari mana kita hanya dapat berharap sedikit simpati, kita lebih mungkin belajar penguasaan-diri yang paling baik.”[1]
Koperasi sedikit banyak juga tidak lepas dari ‘mendapat simpati lebih besar dari seorang sahabat’, orang-orang dekat yang ada di sekitar. Dan dengan melakukan ko-operasi itu, akan lebih mempunyai kekuatan ketika berhadapan dengan ‘orang yang tidak kita kenal, dari mana kita hanya dapat berharap sedikit simpati, kita lebih mungkin belajar penguasaan-diri yang paling baik’ ketika harus bicara melalui ‘bahasa harga-harga’.
Jika kita lihat lebih jauh, penekanan Adam Smith pada masalah simpati sebagai salah satu basis mengapa tertib tatanan bisa relatif terjaga meski orang-per-orang dipersilahkan mengejar self-interestnya, ini juga seakan mengandaikan adanya kebebasan. Relatif tidak ada ‘nilai raksasa’ yang menentukan untuk memaksa adanya ‘tertib tatanan’, tetapi kemampuan ber-simpati yang didukung ‘insting’ imajinatif-lah yang mendorong berkembangnya tertib tatanan itu. Adanya kebebasan itulah yang juga akan mendorong berkembangnya pasar, bahkan pasar lintas negara. Hal inilah juga merupakan kritik Smith terhadap sistem merkantilisme yang berkembang saat itu.
Tetapi apakah benar pengejaran akan self-interest menjadi satu-satunya yang memungkinkan wealth of nations itu akan mewujud? Ketika kita pergi ke pasar kadang kita tahu bahwa misalnya pisang itu sewajarnya seharga 20 ribu misalnya, tetapi ketika ditawarkan oleh penjual yang sudah tua itu misal Rp 25.000, kadang kita tidak menawar lagi. Ada hal lain kadang menelusup dalam pasar selain ‘bahasa harga’ yang jika dirunut ‘etimologi’nya itu berasal dari self-interest. Atau seperti ditunjukkan Amartya Sen (1987) dengan mengambil ‘Japanese ethos’-nya Michio Morishima (1982): “The success of a free market does not tell us anything at all about what motivation lies behind the action of economic agents in such an economy. Indeed, in the case of Japan, there is strong empirical evidence to suggest that systemic departures from self-interesed behaviour in the direction of duty, loyalty and goodwill have played a substantial part in industrial success”.[2]
Atau lihat yang dilakukan oleh Alexander Hamilton di awal abad 19 ketika argumentasi infant industry dan national interest di AS sono untuk sementara menginterupsi pasar bebas yang digerakkan oleh kepentingan diri itu. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan diri dari industriawan Inggris yang saat itu sudah sampai tingkat efisiensi yang tinggi sehingga mampu bersaing dalam harga. Intinya adalah, keberhasilan kapitalisme dalam membawa kemakmuran bersama itu memang mensyaratkan hal-hal tertentu, bermacam ‘modifikasi’ sadar yang dituntun oleh nalar serta keberanian tertentu. Atau kalau memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon, si-kuda hitam itu tetaplah tidak bisa dibiarkan untuk lari sendiri. Simpati yang disebut Adam Smith itu bisa kita bayangkan sebagai eros.[3] Dan kita perlu misalnya sosok Rizal Ramli yang dengan ‘akal-nakal’-nya terhadap dinamika kapitalisme bisa membangun strategi yang jitu. Dan juga kita butuh orang yang peka ketika apa yang disebut oleh national-interest itu mulai terancam.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah soal eros, atau dalam hal ini katakanlah soal simpati. Dari banyak negara-negara yang berhasil dengan menapak jalan kapitalisme, kita sering melihat berita yang mungkin nampak ‘konyol’, seperti hanya karena melanggar lampu lalu-lintas saja seorang menteri memutuskan mengundurkan diri. Kalau dilihat lebih jauh, mungkinkah karena ini soal simpati atau yang sekarang disebut sebagai empati itu? Para pemimpin itu mungkin membayangkan apa yang ada di benak rakyat ketika ia berperilaku seperti itu, dan kira-kira apa responnya. Ia mungkin sadar-se-sadar-sadarnya bahwa ia adalah juga ‘model’ bagi rakyat dimana ia hidup. Hanya dengan secara ketat ia menunjukkan suatu bentuk simpati maka diharapkan khalayak juga ikut menghasratinya. Atau paling tidak di bawah sadar tetaplah tertanam baiknya sebuah simpati dalam konteks tertibnya sebuah tatanan.
Hal di atas bisa kita baca secara terbalik, bagaimana jika para pemimpin itu justru menampakkan diri sebagai sosok yang miskin simpati? Maka jika kita memakai lagi Alegori Kereta Perangnya Platon, kereta akan menjadi susah untuk ‘naik ke atas’. Atau dalam bahasan kali ini, wealth of nations akan semakin berat dicapai. Si-kuda hitam akan menjadi potensial semakin ugal-ugalan, dan hidup bersama bisa-bisa akan semakin dekat dengan kondisi ‘state of nature’, semua lawan semua. Maka jika kita mendapatkan seorang pemimpin yang miskin simpati atau sekarang adalah miskin empati, katakanlah ketika rakyat sedang begitu sesak-napas karena asap kebakaran hutan/lahan bahkan ada yang sampai meninggal, ia malah mengunggah vlog kegembiraan privatnya di ruang publik. Atau ketika ratusan petugas pemilihan itu meninggal ia tidak mengerahkan bermacam sumberdaya yang di tangan untuk mengurai hal tersebut. Dan banyaaak lagi. Kapitalisme bisa jatuh pada varian ‘kapitalisme-ona-anu’, dan bukan ‘the wealth of nations’ yang tercapai, tetapi ‘the wealth of oligarch’-lah yang mengemuka. Karena dalam perang semua-lawan-semua itu, yang sedang pegang pakta dominasi-lah mempunyai potensi besar untuk memenangkan pertarungan. Maka pelajaran lima tahun terakhir ini, hati-hatilah memilih pemimpin. Yang ahli pura-pura dalam soal ber-simpati itu, pastilah ujungnya akan meretakkan kehidupan bersama. Apalagi ketika ia tidak didukung oleh yang punya ‘akal-nakal’ dan terlalu banyak yang suka sok-sok-an saja. Dan ketika keretakan terjadi, solusi yang ada di otaknya pertama-tama adalah solusi kekerasan, dan tidak lainnya.
Meminjam bahasa Ignas Kleden dalam Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe (Kompas, 6 Juli 1996), “tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia’. Atau bisa dikatakan sekarang, tekanan yang berasal dari manusia-manusia yang ‘ber-akal-nakal’, manusia-manusia yang jauh dari gaya sok-sok-an, dan manusia-manusia bukan ahli pura-pura khususnya dalam hal simpati. *** (29-09-2019)
[1] Herry B. Priyono, Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial, dalam Jurnal Diskursus Vo. 6, No. 1, April 2007, STF Driyarkaara, hlm. 11
[2] Amartya Sen, On Ethics and Economics, Blackwell Publishing, 2004, hlm. 18
[3] https://www.pergerakankebangsaan.
com/215-Mak-Erot-Eros/