25-09-2019
Banyak hal mendasar bisa kita sebut dalam hidup bersama ini, salah satunya yang sungguh mendasar adalah bahasa. Karena bahasalah manusia kemudian menjadi manusia, menjadi berbeda dengan spesies lain. Karena bahasa pula kemudian kita bisa mengembangkan dan menyepakati apa itu adil, apa itu keadilan, misalnya. Tentu bahasa saja tidaklah cukup membuat manusia menjadi semakin berkembang, ia mesti juga harus berbuat, mengerjakan sesuatu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dibebaskannya tangan manusia dari fungsi berjalannya dan kemudian menjadi semakin aktif untuk melakukan bermacam bentuk aktifitas, itu juga yang akhirnya memungkinkan area otak yang terkait dengan kemampuan bicara menjadi lebih berkembang. Area otak untuk bicara itu berdampingan dengan area otak untuk aktifitas-aktifitas ‘kecil’ tangan.
Sedemikian pentingnya bahasa bagi manusia bahkan ada yang mengatakan bahwa bahasa adalah rumah manusia. Dalam bahasa-lah manusia itu bermukim. Maka bahasa jelas lebih dari sekedar alat, meski pada penggunaan sehari-hari kebanyakan adalah sebagai alat. Bahasa sebagai alat mempunyai sisi ‘mania’-nya, yaitu bahasa sebagai alat manipulasi. Dan inilah yang dimaksud dalam tulisan ini, ketika hal mendasar itu dipermainkan, ketika bahasa lebih sebagai alat manipulasi, bahasa sebagai alat diujung ‘kegilaan’-nya.
Tentu dalam dunia politik tidak akan lepas dari akrobat manipulasi, atau kasarnya tipu-tipu. Masalahnya dalam hidup bersama adalah soal batas, dan selalu soal batas. Soal kualitas diri dalam hal pengendalian diri, pengenalan akan batas-batas. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa menggantungkan ‘nasib’ pada ‘niat baik’ saja ternyata tidaklah cukup. Itulah mengapa kemudian berkembang dan dikenal adanya eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Belakangan kemudian ada yang menyebut kekuatan media massa, kekuatan pers. Dan ketika tekhnologi komunikasi semakin berkembang, ada yang menambahkan kekuatan di media sosial dan sejenisnya.
Tapi kelima hal di atas, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, dan sosial media kalau dilihat lebih jauh lagi, media utamanya adalah sekali lagi: bahasa. Tentu juga apa yang dikatakan oleh Percy W. Bridgman, fisikawan peraih Nobel juga sangat bermakna, seperti dikutip Mochtar Lubis: “Makna sebenarnya dari suatu kata hanya dapat ditentukan dengan meneliti apa yang dilakukan seseorang dengannya, dan bukan dengan apa yang dikatakannya dengan kata tersebut.”[1] Bagi yang mempunyai imajinasi pendek maka apa yang diungkap oleh Bridgman ini adalah berarti kemudian mengubur kata karena yang penting adalah apa yang dilakukan. Yang penting kerja-kerja-kerja dari pada omong doang. Padahal dibalik itu adalah supaya kata tidak mampu membongkar apa yang sedang disembunyikan dalam frase kerja-kerja-kerja itu.
Dari kelima ‘lembaga’ di atas, eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, dan sosial media, dilihat dari ‘umur’nya kiranya yang paling tua adalah ‘eksekutif’, apapun sebutannya dulu. Legislatif, yudikatif, dan seterusnya itu adalah ‘modifikasi’ manusia dalam perjalanan sejarahnya ketika hasrat yang ada di tubuh ‘eksekutif’ itu sudah tidak cukup lagi dalam pengendaliannya dengan hanya mengandalkan dimensi ‘orang baik’ lagi. Dengan hanya mengadalkan hal baik yang ada dalam seorang ‘filsuf raja’ semata. Bagaimana manusia tanpa lelah berusaha memberikan ‘batas-batas’ bagi yang ada di ‘eksekutif’ itu sehingga perilakunya tidak ugal-ugalan dimakan oleh hasrat-hasratnya sendiri, sejarah telah mencatatnya.
Maka hal esensial yang bisa dikatakan di sini adalah cerita soal eksekutif dan pengendaliannya. Soal eksekutif dan batas-batasnya. Legislatif, yudikatif, pers, media sosial, atau juga NGO, LSM, dan lain-lain adalah sebuah dinamika dalam bayang-bayang eksekutif, dalam bayang-bayang gejolak hasrat yang ngendon dalam diri sang eksekutor. Legislatif dan yang lainnya itu akan dikatakan sebagai lembaga yang kuat pertama-tama adalah karena mampu mengambil jarak dengan eksekutif, dan bukan karena lainnya. Dan dalam jarak itulah bahasa akan menjadi jembatan utamanya. Eksekutif akan selalu ‘dihantui’ oleh ungkapan Bridgman seperti kutipan di atas: “Makna sebenarnya dari suatu kata hanya dapat ditentukan dengan meneliti apa yang dilakukan seseorang dengannya, dan bukan dengan apa yang dikatakannya dengan kata tersebut.” Dan konsistensi, satunya kata dan tindakan itulah yang akan dinilai serta menjadi titik berangkat untuk pengendalian gejolak hasrat sang eksekutor, baik oleh legislatif, yudikatif, pers, media sosial, dan lainnya. Maka dapat segera dilihat, pada awalnya adalah: kata.
Dari hal-hal di atas maka dapat segera dilihat, jika kelima lembaga atau juga lainnya itu mempunyai potensi membuat ‘gempa’ bagi hidup bersama, yang duduk di eksekutif-lah yang mempunyai potensi paling besar membuat ‘gempa’ yang merusak hidup bersama. Dan ‘gempa merangkak’ yang kapan saja bisa meletup menjadi gempa besar adalah ketika hal mendasar sudah dipermainkan, dalam hal ini ketika bahasa sudah menjadi alat manipulasi yang hadir secara ugal-ugalan tidak tahu batas. Atau banjir ngibul itu. *** (25-09-2019)
[1] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban, Inti Idayu press, 1986, cet. 7, hlm. 36