24-09-2019
10 tahun lalu, mahasiswa-pemuda-pemudi yang melakukan demonstrasi hingga malam itu mungkin akrab dengan lagu 21 Guns-nya Green Day. Dan selama 10 tahun setelahnya ia dibesarkan dengan begitu banyaknya selirewan informasi melalui dunia digital yang semakin merebak. Semakin canggih tekhnologinya. Mungkin mereka tidak akrab dengan istilah ‘jasmerah’, tetapi jelas mereka akan akrab dengan ‘jasmetal’, jangan sekali-kali melupakan jejak digital.
10 tahun lalu mereka yang besar di Solo mungkin ikut mengarak gebyarnya hikayat mobil Esemka itu. Yang di luar Solo mungkin ikut-ikutan bertepuk tangan. Tetapi jejak-jejak digital, misal bagaimana ada yang sedang ngibul ini-itu, dipesan sekian ribu dan seterusnya, dan seterusnya itu, dan seterusnya, mereka akhirnya juga bisa melihat. Apalagi ketika mereka sudah mulai menapak kematangan intelektualnya itu akhirnya ikut merasakan juga bagaimana dihinanya bangsa ini soal mobil Esemka itu. Tipu-tipu seakan kita sebagai bangsa tidak mempunyai cita-cita besar dan siap untuk melangkah menghadapi bermacam kesulitan. Mak-plung saja hadir seakan kita semua adalah bangsa dungu.
Atau lihatlah ketika lempar-lempar hadiah ke rakyat dari kaca mobil yang sedang berjalan-jalan, sambil pecingas-pecingis. Atau menerangkan soal kondisi ekonomi bangsa dengan gerak tubuh glécénan, merokat-meroket seakan tanpa beban. Atau yang hidup di Jakarta, bagaimana soal ‘kampung deret’ itu? Atau saat hiburan Pembukaan Asian Games lalu, siapa yang tipu-tipu soal akrobat naik motor itu? Lucu? Menggemaskan? Atau dongkol? Juga ketika melihat jejak digital pasca tsunami di Jawa Barat beberapa waktu lalu, video yang mana malah ada yang mengambil kesempatan untuk ‘shooting’ jalan sendirian meninggalkan koleganya sambil menggulung lengan baju. Dan diulang ketika meninjau kebakaran hutan-lahan akhir-akhir ini. Bahkan ketika anak-anak bangsa sedang meradang dengan sesak napas karena asap, dia malah mengunggah vlog penuh kegembiraan bersama cucu. Lupa bahwa ia adalah figur publik penting di republik. Jejak digital pula yang memberikan pengetahuan pada kita semua bagaimana ia pernah mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa kita adalah bangsa besar, tetapi bangsa besar yang seperti apa jika selama lima tahun pimpinan puncaknya tidak pernah mau menunjukkan hidungnya di Sidang Umum PBB? Atau juga jejak digital ketika 5-6 tahun lalu ia bicara soal penguatan KPK –ditambah anggarannya dan ribuan penyidik, dan bla-bla-bla itu, masih dengan baju kotak-kotak-nya. Khalayak-pun bisa kemudian membandingkan wajah dan tarikannya ketika bicara soal penguatan KPK dengan saat ketika bicara mobil Esemka sudah dipesan sekian ribu sekitar delapan tahun lalu itu. Melalui jejak-jejak digital. Atau juga soal stop impor, dan memuliakan petani. Dan juga saat ngékak-ngèkèk bersama pelawak ketika Papua sedang membara. Radikal-radikul-hatea-hatei-isas-isis ...
Bermacam jejak digital ini akan memberikan semacam background dalam soal rasa-merasa terkait dengan kebijakan-kebijakan publiknya. Maka ketika muncul (lagi) bermacam kebijakan-kebijakan yang mbèlgèdès, akhirnya sampailah pada batas itu. Batas yang akhirnya muncul secara ekspresif dalam #25 Jigo itu. Seakan menegaskan, bukan rakyat yang selama ini bego. *** (24-09-2019)