18-09-2019
Kata 'gelombang' dipakai dalam judul dimaksudkan sebagai yang seakan datang tanpa henti, terus menerus. Adanya hak monopoli dalam penggunaan kekerasan oleh negara menjadikan negara tetaplah merupakan salah satu yang begitu menggoda sehingga negara sampai sekarang tetaplah sebuah entitas yang sungguh menarik untuk diperebutkan. Tetapi itu sebenarnya terbatas pada kekerasan fisik, di luar itu ada beberapa bentuk kekerasan yang apalagi monopoli, justru negara sebaiknya menghindari penggunaannya. Di luar (penggunaan) kekerasan fisik itu, sama sekali negara tidak berhak, apalagi memonopolinya. Atau jika bicara negara adalah juga bicara soal power, maka meminjam pembedaan Joseph S. Nye Jr. soal hard power dan soft power, monopoli negara atas kekerasan itu hanya ada pada ranah hard power.
Masalah Papua adalah contoh bagaimana ‘gelombang kekerasan di republik para-antek’ itu hadir di sana, terjadi selama bertahun-tahun. Kekerasan fisik yang nyata di sana kadang mengaburkan dan membuat lupa bahwa terlalu banyak kekerasan lain yang hadir di luar kekerasan fisik tersebut. Banyak definisi soal kekerasan ini, tapi salah satu yang baik pada kesempatan ini untuk diperhatikan adalah dari Johan Galtung (1975) yang diringkas oleh Thomas Susanto: kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.[1]
Seperti kita ketahui bahwa konsep monopoli kekerasan fisik ada pada negara itu muncul pertama kalinya sebelum Revolusi Industri merebak. Atau kalau meminjam pembedaan tiga revolusi menurut Alvin Toffler itu masih ada di era Revolusi Pertanian. Ketika Revolusi Industri merebak, kekerasan yang bersembunyi di balik kekuatan uang mendapat analisis tajamnya dari Karl Marx. Jika di era Revolusi Pertanian perbudakan itu terutama terjadi di perkebunan-perkebunan, di era Revolusi Industri, menurut Marx, eksploitasi ada di bermacam alat-alat produksi yang dikuasai oleh pemilik modal. Perlawanan terhadap bermacam eksploitasi ini bukannya terus menghilangkan pekerja-pekerja di perkebunan, pertanian, atau pabrik misalnya, tetapi adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya dimensi kekerasan-kekerasannya. Baik itu dari sistem pengupahannya maupun munculnya bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan kerja tertentu. Yang mana jika hal tersebut kita memakai istilah ‘job security’, itu sebenarnya juga upaya mawas diri dari bentuk kekerasan seperti yang diungkap oleh Galtung di atas.
Pagi-pagi di era Revolusi Informasi, kita sudah diperkenalkan dengan istilah ‘post-truth’, yang sengaja atau tidak seakan ini bisa menjadi bingkai ‘pembiasaan’ atas salah satu bentuk ‘kekerasan informasional’, kekerasan yang diperanakkan oleh kekuatan informasi, kekuatan pengetahuan. Dengan adanya istilah itu, ‘hipokognisi’ atas merebaknya bermacam informasi yang ugal-ugalan itu seakan sudah terbajak sehingga penghayatan sebagai salah satu bentuk kekerasan tidak kemudian berkembang. Semestinya dengan informasi yang tidak ugal-ugalan khalayak dalam wahana pengetahuan itu mempunyai kesempatan lebih dalam mengembangkan potensi dirinya secara wajar, kembali ke definisi kekerasan menurut Galtung di atas.
Pemakaian kata ‘republik’ dalam judul dimaksudkan di sini untuk menunjuk pada kekerasan negara, kekerasan yang dilakukan negara pada warganya sendiri. Jika mengikuti studi Michel Foucault soal bentuk-bentuk hukuman/penjara yang semakin ‘tidak menjamah pada fisik’ kitapun bisa membayangkan bentuk-bentuk kekerasan yang semakin tidak menjamah fisik juga, kekerasan lain yang semakin tidak berurusan langsung dengan fisik. Dan salah satunya adalah seperti disebut Galtung di atas. Jika KPAI ingin melihat kekerasan pada anak-anak kita, dari sudut pandangan Galtung ini maka bisa menemukan pada pendidikan (dasar) formal kita. Ketika pendidikan dasar lebih mengejar kompetensi maka pada saat itulah juga kemungkinan meminggirkan bermacam potensi dalam diri anak akan membesar. Atau imajinasi tentang anak hebat-tahu-banyak-juara-olimpiade-dan-sejenisnya, akan mengubah rasa-merasa kita soal bagaimana mendorong anak meraba dan mengembangkan potensi dirinya. Keunikan dan harta karun bernama ‘potensi diri’ itu bisa terkubur dalam pendidikan (massal) ala ‘pabrikan’ itu. Dan di situlah kita akan menemukan kekerasan yang selama ini nyaman-nyaman saja bersembunyi di balik kurikulum.
Rizal Ramli sangat benar ketika menyebut soal pengendalian minuman keras (miras) di Papua sebagai salah satu bentuk yang mesti dilakukan pemerintah dalam soal Papua. Atau sebenarnya bahkan penanganan soal miras di Papua ini bisa dikatakan sebagai salah satu tolok ukur penting serius-atau-tidak-nya pemerintah dalam upaya mengangkat kesejahteraan di Papua. Jumpalitan lompat kanan-lompat kiri atau apapun itu, jika tidak ada upaya serius dalam pengendalian miras di Papua ini, jangan pernah percaya ‘maksud baik’ pemerintah yang digembar-gemborkan itu. Sama halnya jika pemerintah tidak serius dalam membahas banjir atau merebaknya sinetron-sinetron kelas medioker di televisi itu, jangan pernah gembar-gembor soal revolusi mental atau sejenisnya.
Atau juga, banjir ngibul itu. Bangsat! *** (18-09-2019)
[1] Thomas Susanto, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 5