09-09-2019
Mungkin di alam sana Koentjaraningrat sedang gundah. Sekitar 45 tahun lalu Koentjaraningrat menulis soal mentalitas (1) suka meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya kepada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab jawab yang kokoh.[1] Dan pastilah di alam sana Koentjaraningrat melihat dengan jelas apa yang sekarang terjadi di republik. Dalam lubuk hati terdalam mungkin inginnya tulisan itu sudah dilupakan karena apa yang dilihat dirasakan dulu sekarang sudah berubah. Tapi sayang, ternyata tulisan Koentjaraningrat itu sekarang ini masih juga sangat layak untuk dibaca.
Ketika masih bolak-balik Semarang-Jakarta untuk ambil S2 (yang tidak kelar itu) di STF Driyarkara, pulang ke Semarang saya biasanya memakai kereta Tawang Jaya, kelas ekonomi. Dari situ saya bisa mengamati bagaimana perubahan dari situasi kereta yang begitu semrawut kemudian menjadi tertata nyaman saat Jonan jadi direktur KA-nya. Salah satu kuncinya adalah dihilangkannya ‘karcis berdiri’ dan yang ‘nembak di atas’ itu. Yang kedua adalah bagaimana ‘otoritas’ melakukan penertiban berkesinambungan, terutama soal larangan merokok. Tidak hanya berkesinambungan, tetapi juga ‘kampanye’ tatap-muka juga dilakukan. Tidak cukup satu-dua bulan ‘penertiban’ itu dilakukan, tetapi bertahun lamanya. Dan masih terus dilakukan sampai sekarang. Siapa bilang kita warga republik tidak bisa ‘hidup tertib, menjaga kebersihan’? Di ranah perkereta-apian, bisa tuh. Lihat bagaimana petugas kebersihan paling tidak dua kali selama perjalanan keliling sambil membawa kantong sampah mengumpulkan sampah dengan mengingatkan siapa yang mau membuang sampah, silahkan ke kantong yang saya bawa ini. Suatu perjumpaan tatap-muka yang sungguh sebenarnya berbobot edukasi yang tinggi. ‘Ritual’ seperti ini jelas juga hasil kebijakan dari otoritas. Tidak hanya kebijakan, tetapi juga monitoring pelaksanaan kebijakan juga. Contoh KA ini ditulis untuk memberikan sedikit gambaran bagaimana peran krusial dari otoritas dalam membangun suatu kebiasaan baik tertentu.
Jika otoritas di tingkat negara itu kita sebut sebagai ‘kekuasaan’ maka pertanyaannya adalah ‘kekuasaan’ seperti apa selama 45 tahun ini sehingga apa yang ditulis oleh Koentjaraningrat di atas masih relevan sampai sekarang? Mengapa dengan kekuasaan yang sungguh besar itu tidak mampu ‘melawan’ mentalitas seperti disebut Koentjaraningrat di atas? Padahal jika 45 tahun itu kita bagi dua, di tengah-tengahnya yaitu di tahun 1998 rakyat republik sudah berteriak: hapus KKN! Tetapi 21 tahun kemudian ternyata tidak banyak berubah! Maka pertanyaan ‘struktural’ dari hal ini adalah, siapa yang diuntungkan dengan merebaknya mentalitas-mentalitas seperti itu? Siapa yang diuntungkan jika ‘penyakit’ seperti itu hanya diberi plasebo dengan ngibul soal ‘revolusi mental’ itu?
Tentu kita bisa melihat juga bahwa banyak di kalangan masyarakat yang sungguh mampu mengembangkan diri untuk tidak bermentalitas seperti yang ditulis Koentjaraningrat 45 tahun lalu. Banyak dan tidak sedikit. Masalahnya adalah ‘praktek kekuasaan’ ternyata terlalu banyak tidak memberikan dorongan atas hal baik yang berkembang di sebagian masyarakat itu, bahkan dalam banyak hal justru malah memberikan ‘suasana frustasi’. Maka sekali lagi ‘pertanyaan politik’-nya, siapa diuntungkan dengan hal semacam itu?
Pentingnya peran ‘otoritas’ ini adalah soal ‘hukum pertukaran budaya’ dari Arnold J. Toynbee, dan perlunya ‘model’ seperti dikatakan oleh Rene Girard dalam ‘segitiga hasrat’-nya. Menurut Toynbee, semakin tinggi nilai suatu budaya maka semakin lemah penyerapannya, atau penetrasi-nya pada satu masyarakat akan menghadapi tantangan/hambatan yang tinggi pula. Tetapi semakin rendah nilai budaya itu, ia semakin mudah pula diserap. Dan bagaimana khalayak dapat ikut menghayati suatu budaya yang tinggi nilainya, misalnya, menurut Girard adalah dengan meniru model yang ada, model yang menghasrati ‘budaya tinggi’ itu. Inilah mengapa ‘otoritas’ itu menjadi mempunyai peran penting, ia menjadi model bagi khalayak. Juga sebenarnya, ia mempunyai banyak sumber daya sehingga ‘kelemahan dalam penyerapan budaya tinggi’ itu dapat diminimalisir. Diminimalisir dalam kesadaran penuh tentang besarnya kekuatan dari kebiasaan itu. Kembali pada pertanyaan, dengan cara lain: mengapa katakanlah selama 45 tahun (sejak Koentjaraningrat menulis, dan bukan berarti sebelumnya tidak ada masalah) ‘otoritas’ tidak berhasil ‘melawan’ mentalitas seperti ditulis Koentjaraningrat di atas?
Dengan bantuan ‘tripartit jiwa’-nya Platon kita bisa mendekati permasalahan ini, dan terlebih melalui ‘alegori kereta perang’-nya. Dalam alegori tersebut digambarkan sebuah kereta perang (a la jaman Romawi), ditarik dua ekor kuda, kuda hitam dan kuda putih, dengan seorang sais. Sais menggambarkan nalar, sedang kuda putih adalah soal kebanggaan, dan kuda hitam: nafsu-nafsu perut ke bawah, makan-minum, seks, dan terutama nafsu akan uang. Di kanan-kiri badan kereta perang ada dua buah sayap, menggambarkan eros.[2] Bagi Platon nalar-lah yang semestinya mengendalikan gejolak kebanggaan dan nafsu-nafsu perut ke bawah itu. Dengan eros yang terdidik untuk selalu mengarah pada kebaikan, maka kereta tersebut akan selalu mengarah ke atas menuju tempatnya dewa-dewa bersemayam. Tetapi liarnya kedua kuda membuat tidaklah mudah bagi si-sais untuk mengarahkan kereta kencana ke atas, apalagi jika eros-nya lemah. Terutama kuda liar hitam yang digambarkan Platon maunya terus saja menuju ke bawah, menarik ke bawah. Kuda putih, soal kebanggaan itu relatif lebih ‘manut’ pada sang-sais, nalar.
Jika kita lihat lebih dalam lagi soal ke-lima mentalitas yang disebut Koentjaraningrat di awal tulisan ini, tidak berlebihan jika kita memandang ini juga masalah eros, masalah tidak optimalnya pendidikan eros. Masalah dimana kita lebih menekankan paradigma out-put daripada paradigma proses. Pendidikan eros tidak bisa tidak harus dikembangkan dalam paradigma proses. Kita tidak usah bermimpi mempunyai anak sampai tingkat SMP, dan terlebih tingkat SD yang tahu banyak hal karena banyak hal itu dapat dengan cepat dikuasai di tingkat-tingkat atau usia-usia sesudahnya. Pendidikan eros adalah pondasi, adalah ‘kekuatan sayap’ yang akan membantu kereta yang dikendalikan nalar itu untuk naik ke atas, dan bukan malah turun ke bawah. Maka jika kemudian kita rasa-rasakan lemahnya pendidikan eros ini dengan tetap relevan-nya tulisan Koentjaraningrat itu 45 tahun kemudian, kita patut curiga, jangan-jangan pakta dominasi –meminjam istilah Cardoso, sebenarnya ada di tangan si-kuda hitam, nafsu perut ke bawah terutama nafsu akan uang. Pakta dominasi yang ada di tangan kaum oligark-pemburu rente itu. Si-kuda hitam yang begitu liciknya memberikan iming-iming akan hebatnya anak tahu banyak, hebatnya juara-juara olimpiade dan sejenisnya demi dilupakannya pendidikan eros yang benar. Sebab jika pendidikan eros dilaksanakan dengan benar, si-sais, nalar akan mendapat bantuan banyak dalam mengendalikan kuda-kudanya, termasuk dirinya: si-kuda hitam, kaum oligark-pemburu rente itu.
Apalagi sekarang ini si kuda putih yang sebenarnya cenderung ‘manut’ pada si-sais itu lebih suka berperilaku sok-sok-an. Lengkaplah si-sais dihajar kanan-kiri-depan-belakang oleh si-kuda hitam, dan puncaknya digantilah sais itu dengan boneka tukang ngibul yang sepenuhnya justru dalam kendali si-kuda hitam. Bangsat. *** (09-09-2019)
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet. 12, hlm. 45
[2] lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com
/215-Mak-Erot-Eros/