02-09-2019
Jika ada peserta asuransi, pelayan kesehatan, dan pengelola dana, BPJS Kesehatan adalah di pengelolaan dana. Atau tepatnya, pengendali dana. Biaya kesehatan jika tidak dikendalikan bisa tidak karu-karuan besarnya. Pilar pengelolaan BPJS Kesehatan (selanjutnya disebut BPJS saja) sebagai salah satu bentuk asuransi managed care adalah pertama, edukasi, kedua, audit, dan ketiga adalah peran penting aktuaris.
Edukasi sebagai pilar pertama dan sebenarnya terpenting, tetapi sering yang paling dianggap remeh. Mengapa edukasi? Karena ini managed care yang sangat berbeda dengan bentuk asuransi kesehatan lainnya. Jadi pengetahuan tentang seluk-beluk ke-BPJS-an sangat penting tidak hanya bagi peserta dan pelayan kesehatan saja, tetapi juga stakeholders lainnya. Contoh, wartawan atau media massa khususnya. Redaksi di surat kabar atau media elektronik lainnya sebaiknya juga diberi pengetahuan seluas-luasnya dan sedetail-detailnya soal ke-BPJS-an ini. Supaya jika pada saat ada berita terkait dengan pelaksanaan BPJS ini bisa tersampaikan berita yang proposional. Sudut pemberitaan-pun diharapkan bisa seimbang. Ini penting sebab jika keliru maka pengetahuan peserta pada khususnya dan masyarakat pada umumnya bisa-bisa juga ikut-ikutan keliru dan menempatkan semua pihak dalam posisi yang sama-sama tidak enaknya.
Juga elit yang sedang duduk di pemerintahan. Bayangkan ketika dulu seorang gubernur sedang ngebet nge-top, dan dengan pethitha-pethithi akan menindak rumah sakit yang menolak pasien. Hasilnya, pelayanan bertingkat itu menjadi kacau dan beban rumah sakit tiba-tiba saja menjadi sangat berat. Meski kemudian dikoreksi bahwa itu adalah untuk kasus gawat darurat, ‘kerusakan persepsi’ sudah kadung terjadi. Atau juga menteri segala urusan itu, sebaiknya juga menjaga diri untuk tidak asal njeplak saja. Jika di tingkat menteri, biarlah menteri kesehatan dan jajarannya yang bicara. Jika dirasa tidak mampu, ya gantilah. Bermacam-macam bentuk dan tingkatan edukasi, tetapi harus dilakukan dengan serius dan simultan. Juga ke pelayan kesehatan, baik di tingkat pertama sampai ke rujukan tertinggi.
Pilar kedua adalah audit, bermacam audit. Edukasi penting tetapi tetap saja itu beranjak dari asumsi ‘manusia pada dasarnya baik’. Sehingga perlulah langkah-langkah khusus bagi bermacam ‘kenakalan’ yang potensial dan faktual terjadi, dan itu melalui bermacam audit, dari audit medik, audit klaim, sampai dengan audit kepesertaan. Langkah pertama menurut saya adalah, audit ‘istilah’ dulu. Jika mau pakai istilah KIS (Kartu Indonesia Sehat), pakailah istilah itu dan hapus istilah BPJS Kesehatan. Jika istilah BPJS Kesehatan dipertahankan, hapus itu istilah KIS, bikin repot saja. Selain itu juga potensial bisa jadi pintu masuk kebocoran. Bermacam audit itu juga mengandaikan pada tingkat eksekusinya, artinya jika ada pelanggaran maka ada sangsi-nya, baik dari yang ringan berupa peringatan sampai dengan masuk ke daftar hitam, misalnya.
Audit bukan saja hanya pada proses dan output saja, tetapi juga input seperti daftar obat yang di-cover, misal ada temuan baru atau usulan dari organisasi profesi. Juga kepesertaan, jangan sampai ada peserta ‘siluman’, misalnya. Atau peserta ‘nakal’.
Pilar terakhir, peran aktuaris. Usulan naik premi 100% sebenarnya menunjukkan peran aktuaris yang lemah. Sebaiknya ganti aktuaris baru saja. Atau karena tingkat kebocoran yang tinggi? Seperti sudah menjadi rahasia umum, tahun politik adalah tahun ugal-ugalannya kebocoran di sana-sini dalam bermacam bentuknya. Hal yang nampaknya itu di luar ilmu aktuarian. *** (02-09-2019)