02-09-2019
Di Solo dan dekat Jogja kami mengadakan serangkaian rapat umum. Malam itu aku untuk pertama kalinya berbicara tentang ‘Perang Pasifik yang akan meletus’. Ini tahun 1929. Setiap orang mengira aku gila.
Dengan darahku yang mengalir cepat dari perasaan gembira yang tidak tertahankan, keluarlah dari bibirku ucapan yang sekarang sangat terkenal: “Kaum imperialis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa merdeka.”
Ucapan ini bukanlah ramalan tukang tenung, ia juga bukan pantulan dari harapan yang didasari impian yang khayal. Aku mengamati Jepang yang menjadi terlalu agresif. Bagiku, apa yang disebut ramalan ini adalah hasil dari perhitungan berdasarkan situasi revolusioner di masa mendatang.[1]
Kutipan di atas diambil dari buku karya Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di tahun 1965. Dan dari kutipan di atas kita bisa belajar, ketika rantai kaum imperalis itu sedang melemah karena perang antar mereka sendiri, maka –mengikuti Bung Karno, ada kesempatan emas Indonesia untuk merdeka. Atau meminjam kata-kata Carl Schmitt dalam Political Theology (1933), “sovereign is he who decides on the exception,” yang terbit empat tahun setelah si-Bung pidato tentang Perang Pasifik itu. Atau juga bertahun setelah Lenin mengintrodusir bahwa ‘the revolution begins where the imperialist chain has its weakest link’.
Le desir d’etre ensemble dari Ernest Renan yang sering dikutip si-Bung itu adalah kehendak untuk bersatu, kemauan kuat untuk hidup bersama. Sebuah kehendak yang tidak hanya melibatkan nalar tercerahkan, tetapi juga elan vital yang kuat. Dihidup-hidupi juga oleh eros yang berkembang. Pertanyaan yang mengusik adalah, apa yang mendorong rantai kehendak untuk bersatu itu bisa menjadi melemah?
Kehendak untuk bersatu tentu bukanlah suatu kehendak yang mak-plung tiba-tiba saja masuk dalam kesadaran. Yang utama adalah yang dialami bersama, pengalaman dari-hari-ke-hari. Yang kedua adalah munculnya kemampuan menjaga jarak terhadap apa yang dialami dari hari-ke-hari itu dan melihatnya dengan akal tercerahkan dan hati jernih, dan berkembanglah kemudian imajinasi-imajinasi. Imajinasi-imajinasi yang kemudian dikomunikasikan satu sama lain sehingga perlahan bersama-sama menemukan hal mendasar mengapa pengalaman sehari-hari itu dapat sedemikian menindasnya. Dan juga perlahan bersama dengan itu mulai tumbuh rasa atau kehendak untuk bersatu, bersatu untuk membangun sebuah perlawanan. Tentu tidak semua unsur bangsa akan mengambil rute di atas, sebagian akan mengambil rute meniru seperti jika kita memakai skema ‘segitiga hasrat’-nya Rene Girard. Atau teori peran ‘minoritas kreatif’-nya Arnold J. Toynbee.
Tentu detail akan lebih kaya dari paparan di atas, tetapi ada prinsip-prinsip yang mana dengan itu kita kemudian menjadi khawatir jika sekarang ini dirasakan sebagai ‘rantai terlemah untuk pecah’. Kehendak untuk bersatu atau keinginan untuk hidup bersama yang melemah. Dan titik sentralnya ada di imajinasi. Bukan sekedar imajinasi, tetapi, pertama: imajinasi yang dihidup-hidupi oleh nalar tercerahkan dan elan vital, dihidup-hidupi oleh eros. Dan kedua yang tidak kalah pentingnya, imajinasi yang tidak pernah lelah di ‘check-recheck’ pada realitas, baik yang potensial maupun yang faktual.
Realitas potensial maupun faktual yang berkembang rasa-rasanya tidak hanya tidak beranjak, tetapi justru semakin dalam terperosok dalam kolam ketidak-adilan. Suasana kebatinan yang merupakan juga erat terkait dengan realitas itu ternyata suasana kebatinan yang banyak kegundahan akan bermacam praktek tidak-adilnya dalam banyak segi hidup berbangsa. Telanjang dan bahkan banyak yang sudah tanpa sungkan lagi. Nafsu-nafsu ‘perut ke bawah’ utamanya terkait dengan uang yang bergejolak seakan tanpa kendali itu perlahan semakin meretakkan imajinasi yang menjadi dasar munculnya kehendak untuk bersatu itu. Dan sayangnya, hal di atas bukannya tidak terjadi sejak dulu, tetapi sekarang ini selain semakin dalam, hal kebanggaan yang menjadi elan vital yang ikut merawat imajinasi itu juga mengalami keretakan. Dengan kemajuan teknologi informasi, sikap-sikap serba sok itu semakin lama semakin terbongkar. Sok nasionalis, sok Pancasila, sok NKRI harga mati, dan seterusnya. Termasuk juga sok pembela wong cilik, sok marhaenis. Akhirnya, gejolak ‘nafsu perut ke bawah’ terutama keserakahan akan uang itu ‘secara langsung’ menyerang frontal pada imajinasi yang ‘ada di kepala’ itu.
Sambutan hangat dari khalayak pada kepemimpinan Anies Baswedan jika kita telisik lebih dalam adalah juga sambutan hangat akan sebuah imajinasi. Imajinasi yang didukung oleh nalar yang tercerahkan serta eros yang kuat. Elan vital yang hidup dan menghidup-hidupi. Maka tak mengherankan jika Anies sering menyebut soal narasi dalam ‘triloginya’, gagasan-narasi-karya. Narasi pada hakekatnya adalah mengkomunikasikan imajinasi. Imajinasi yang terbuka lebar untuk di-check-recheck dengan realitas, baik yang potensial maupun faktual. Imajinasi yang juga terbuka untuk di check-recheck dengan tawaran imajinasi saat kampanye dulu, janji-janji kampanye. Tetapi ada satu/dua kata yang bagus untuk merangkum semua itu: ikhlas-tulus. Kata yang tidak mudah dihayati dalam tatanan yang begitu mengagungkan self-interest.*** (02-09-2019)
[1] Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno, Penerbit Media Presindo, edisi revisi, 2011, cet-2, hlm. 111