30-08-2019
“Anda seorang raja atau yang sedang merintis menjadi raja?” demikian ditulis Machiavelli dalam Sang Penguasa (The Prince). Mengapa Machiavelli menulis ini? Dalam lanjutannya Machiavelli menerangkan bahwa apa yang baik saat merintis menjadi raja itu belum tentu baik juga saat menjadi raja. Atau dalam masa Yunani Kuno dibedakan antara hēgemonia dan archē [1], dimana hēgemonia adalah memperoleh kekuasaan berdasar keagungan dan prestasi rekam jejak, sedang archē lebih pada bagaimana kekuasaan itu digunakan.
Adolf Hitler adalah salah satu contoh dari salah satu bentuk jawaban dari sisi paling gelap lontaran Machiavelli di atas. Saat sedang merintis menjadi ‘raja’, Hitler ikut permainan jalan demokrasi, tetapi setelah menjadi ‘raja’? Setelah memegang archē? Dari sejarah kita dapat melihatnya.
Pada saat Proklamasi 1945, founding fathers mempunyai ‘referensi hidup’ dari bermacam model pemerintahan, dari demokrasi, fasisme, sampai komunisme, dan bahkan monarki. Tetapi yang disepakati adalah bentuk demokrasi. Mengapa ini yang dipilih? Nampaknya lebih didorong karena ‘kemerdekaan adalah hak segala bangsa’. Kemerdekaan itu adalah ketika semua tidak hanya setara dalam hukum, tetapi juga mempunyai hak untuk bersuara. Maka nampaknya benar yang dikatakan Driyarkara (1957), ‘menegara berarti bercakap-cakap’. Dan tidak hanya dengan manusia kita bercakap-cakap, tetapi juga dengan alam.[2]
Terutama di lima tahun terakhir ini kita bisa merasakan bersama bagaimana hal ‘percakapan’ mengalami peminggiran, dan pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ketika ‘percakapan’ dipinggirkan atas nama kerja-kerja-kerja? Atas nama segala yang serba cepat itu? Dan bukankah kita sudah banyak pelajaran tentang segala macam ‘atas nama’ itu? Salah satunya adalah ketika Megawati khawatir soal perang saudara.
Permasalahannya bukanlah pilihan antara ‘percakapan’ dan ‘kerja’, tetapi adalah apakah percakapan itu akan mewujud dalam kerja-kerja-kerja itu. Tentu ada hal-hal khusus yang mana percakapan harus sedikit ‘minggir dahulu’, seperti misalnya tiba-tiba saja kita dihadapkan pada kebakaran. Ambil ember, isi air, dan guyur, baru kemudian setelah api padam kita akan bercakap-cakap soal asal-muasal kebakaran, misalnya. Atau ketika bencana tiba-tiba datang, fokus pada korban adalah yang utama, dan itu tidak usah diperdebatkan lagi.
Ketika arus informasi begitu cepatnya maka sering itu juga akan menekan percakapan, percakapan dalam arti sebagai percakapan yang ‘dalam’. Tentu sebagian besar percakapan bukanlah percakapan yang ‘dalam’, dan maka dari itulah pemimpin dilahirkan. Sastrawan lahir dan melahirkan karya-karyanya. Bukan berarti ‘yang biasa-biasa’ saja tidak pernah atau tidak mampu membuka percakapan yang ‘dalam’ itu. Justru manusia mampu bertahan karena pertama-tama menjadi ‘yang biasa-biasa’ itu. Tetapi dalam satu-dua-tiga peristiwa, pastilah ia akan sampai juga pada sebuah ‘percakapan’ yang ‘dalam’ itu. Maka dalam satu masyarakat, pentinglah peran pemimpin dalam ‘percakapan-percakapan’ itu, karena ia mampu dan berani ‘menunda’ bermacam hal, dari kepentingan diri sampai dengan dalam menghadapi derasnya arus informasi. Ia endapkan bermacam arus informasi itu, ia kembangkan imajinasi, dan kemudian ia coba komunikasikan dengan lingkaran dekatnya, bisa kemudian diperluas, dan setelah itu baru ia membawa itu pada percakapannya dengan yang dipimpinnya. Maka semakin tinggi tangga kepemimpinan maka semakin dalam dan bermaknalah percakapannya. Bermakna lebih karena apa yang ia cakapkan itulah yang akan dikerjakan juga. Dan yang dipimpinnya tahu akan hal itu.
Maka dalam konteks menegara, penghinaan terhadap rakyat oleh si-pemegang kekuasaan adalah ketika ia menggunakan percakapan lebih untuk menipu rakyatnya. Bilang A, B, C waktu kampanye misalnya, tetapi justru yang dikerjakan adalah D, E, F –justru yang tidak pernah ia cakapkan waktu kampanye. Itu penghinaan. Dan tidak hanya penghinaan ‘kratos’ ke ‘demos’, tetapi potensi merangkaknya penjajahan akan perlahan menjadi faktual. Karena penghinaan-penghinaan itu sangat mungkin yang sebenarnya dibelakangnya adalah nafsu penguasaan. Yang mana jika percakapan-percakapan terjadi secara benar, nafsu penguasaan itu akan mendapatkan tali kendalinya.
‘Kegelapan jawaban’ seperti sudah disinggung di atas dari seorang Hitler saat itu ternyata salah satunya adalah karena merebaknya apa yang disebut Hannah Arendt sebagai ‘banality of evil’. Jika jaman Hitler yang terjadi adalah holocaust, di republik juga tidak jauh berbeda, korbannya adalah percakapan seperti yang dibayangkan Driyarkara di atas. Nggedebus, cengèngèsan, glécénan, menipu, buat laporan keuangan palsu, ingkar janji dan sejenisnya, seakan telah menjadi banal di kalangan banyak elit dan kaki-tangannya yang dilepas di ruang-ruang publik. ‘Banality of evil’ ini asal muasalnya salah satu yang utama adalah ketidak-berpikiran. Dan jangan-jangan, sambutan yang antusias akan ‘gerakan akal sehat’ secara tidak langsung mengkonfirmasi adanya ‘banality of evil’ dari percakapan banyak elit ini. Dan seperti jaman Hitler, kita harus hati-hati, khawatir malah, era kegelapan dalam percakapan itu ujungnya adalah juga era kegelapan dalam menegara itu sendiri. Terlebih jika kita juga mengingat percobaan Stanley Milgram sekitar 50 tahun lalu, yaitu adanya otoritas yang seakan ‘mengurung’ ketidak-berpikiran itu. Dan berdasar percobaan Milgram itu, ‘korban banality of evil’ bisa sampai yang bergelar profesor-dokter, dan juga tokoh yang dikenal masyarakat sebagai yang berbudi. Otoritas yang saat ini bisa berasal dari antah-berantah.
Tentu politik akan penuh dengan gertak dan tidak pernah steril dengan tipu-tipu. Masalahnya adalah tahu-batas. Dan batas itu tidak hanya urusan ‘dinamika internal’ tetapi terlebih adalah ‘dari luar’. Maka adalah benar sekali ketika seorang sahabat habis bicara bersama dalam satu ‘panggung’ di Makasar bertahun silam dengan salah satu tokoh tua militer yang dihormati baik di kalangan militer atau juga oleh Rizal Ramli dan ‘orang-orang baik’ lainnya menceritakan dengan cukup terkejut bahwa tokoh tua militer itu mengatakan dengan jelas: ketahanan nasional itu akan sangat terpengaruh oleh keterbukaannya terhadap kritik. *** (30-08-2019)
[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com
/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/
[2] Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, Kanisius, Gramedia, Kompas, hlm. 609