28-08-2019
Tidak hanya obat-narkotik atau alkohol yang bisa membuat orang dalam situasi adiktif, ketergantungan, tetapi juga katanya adrenalin. Kesukaan akan olah raga atau petualangan yang dekat-dekat dengan pertaruhan nyawa, misalnya. Bagi yang ‘hobi’-nya kekuasaan, tentu akan sangat akrab dengan salah satu pernyataan Carl Schmitt dalam Political Theology (1933): “Sovereign is he who decides on the exception.” Kenapa? Karena pada situasi tersebut ia bak seorang raja dengan segala kuasa ada di tangan. Semua peraturan, undang-undang, dan sekitarnya di-suspend dulu. Dan dia bebas menggunakan kuasa yang ada di tangan. Legitimasinya? Pada hasil!
Maka apa yang disebut sebagai ‘permanent state of emergency’ bisa-bisa juga tak jauh dari hal-hal yang adiktif sifatnya, karena itu bisa sebagai ‘dalih’ atau jalan untuk memuaskan hasrat kuasanya. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007) juga membahas hal ini secara luas. “Believers in the shock doctrine are convinced that only a great rupture –a flood, a war, a terrorist attack – can generate the kind of vast, clean canvases they crave. It is these malleable moments, when we are psychologically unmoored and physically uproot, that these artists of the real plunge in their hands and begin their work of remaking the world,” demikian Naomi Klein (The Shock Doctrine, hlm. 21).
Maka ‘tlusap-tlusup’-nya, senyap-nya operasi telik sandi-pun bisa-bisa juga dekat dengan hal-hal di atas, bukan artificial intellegence, tetapi ‘artificial state of emergency’. Buat apa? Untuk ‘memaksimalkan’ kuasa yang ada di tangan. Untuk men-suspend proses-proses yang sebenarnya harus dilalui. Dan terakhir, siapa tahu ada kanvas yang sudah dekat-dekat dengan bersih dan maka dengan itu mulai-lah ‘kaki-tangan’ kekuasaan itu ‘that these artists of the real plunge in their hands and begin their work of remaking the world’. *** (28-08-2019)