25-08-2019
“Rusia macam apa yang kami miliki?” demikian kegundahan Alexei Pushkov, seorang komentator televisi di Rusia, seperti tertulis di Washington Post edisi 30 Agustus 1998.[1] Kegundahan ini ada di buku Simon Saragih, Bangkitnya Rusia (2008) Bab III: Keterlibatan AS Dalam Kehancuran Rusia. Kegundahan Pushkov ini seakan mewakili banyak perasaan warga Rusia yang sudah hampir 8 tahun di bawah Boris Yeltsin, dan saat itu adalah periode ke-duanya.
Kalau dihitung sejak gegap-gempitanya mobil Esemka yang mengangkat popularitas Joko Widodo, sampai dengan hari ini setelah Joko Widodo dimenangkan oleh MK untuk periode ke-duanya, kira-kira itu juga mengambil waktu sekitar 8 tahunan. Dan yang kemudian dirasakan di banyak warga juga hampir mirip, sebuah kegundahan: “Republik macam apa yang kami miliki?” Pasca runtuhnya Tembok Berlin, ketika hak milik pribadi dibuka seluas-luasnya, dan terlebih di era Boris Yeltsin, merebaklah apa yang disebut dengan oligark itu. Segala paradigma Washington Consensus yang kemudian melanda Rusia secara ugal-ugalan itu telah melahirkan kaum oligark yang semakin berkuasa dan membuat banyak warga semakin gundah melihat perilaku mereka. Atau ditulis Simon Saragih: “Pada tahun 1998, Yeltsin praktis telah kehilangan kontrol atas proses politik di Rusia.”[2]
‘Kehilangan kontrol atas proses politik’ dan judul tulisan di Bab III, ‘Keterlibatan AS Dalam Kehancuran Rusia’ seakan memberi gambaran apa yang pernah diungkap oleh Eric J. Hobsbawm: “The idea of ‘nation’, once extracted, like the mollusc from apperantly hard shell of the ‘nation-state’, emerges in distincly wobbly shape.”[3] Bandul ‘keras-lunak’-nya negara yang sebelumnya ada di bandul ‘super-keras’ yang sampai-sampai warga negaranya sendiri menjadi sulit bergerak saat komunisme berkuasa, dan bergeser ke melunak kebablasan sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi warganya. Proses-proses politik sebenarnya salah satunya ia ada di antara ketegangan ‘keras-lunak’-nya negara, dan ketika pimpinan tertinggi, dalam konteks Rusia saat itu, Yeltsin, telah ‘kehilangan kontrol atas proses politik’, maka masalah ‘keras-lunak’-nya negarapun akan menjadi urusan yang liar. Ke-liar-an bermacam ‘nafsu-nafsu purba’ yang sungguh potensial akan menurunkan makna hidup bersama. Dan muncullah kegundahan Pushkov seperti di awal tulisan: “Rusia macam apa yang kami miliki?” Kegundahan ketika liar-nya nafsu kaum oligark sudah dirasakan semakin mempertaruhkan makna hidup bersama.
Dan akhirnya, di penghujung abad-20, 31 Desember 1999, Yeltsin menyampaikan pidato pengunduran dirinya, yang kutipan pidato dalam terjemahan bahasa Inggrisnya kurang lebih seperti ini “Dear friends, my dear ones, today I am wishing you New Year greeting for the last time. But that is not all. Today I am addressing you for the last time as Russian president. I have made a decision. I have contemplated this long and hard. Today, on the last day of the outgoing century, I am retiring.” .....
.... In accordance with the constitution, as I go into retirement, I have signed a decree entrusting the duties of the president of Russia to Prime Minister Vladimir Vladimirovich Putin. .... “[4] *** (25-08-2019)
[1] Simon Saragih, Bangkitnya Rusia, Peran Putin dan Eks KGB, Kompas, 2008, hlm. 39
[2] Ibid
[3] Eric Hobsbawm (1992) Nations and Nationalism Since 1780, Cambridge University Press, hlm. 190
[4] http://www.rjgeib.com/thoughts
/russia/yeltsin-resignation.html