24-08-2019
Ketika masa kampanye, solidaritas pada ‘wong cilik’ dipompa habis sampai setinggi langit. Setelah terpilih jadi wakil rakyat di daerah misalnya, belum dilantik-pun sudah sodok sana sodok sini terutama malah menyodok wong cilik. Langsung lupa apa makna solidaritas itu, paling tidak solidaritas versi kampanye. Mengapa? Banyak faktor, salah satunya adalah ketika kecurangan dalam bermacam bentuknya telah melembaga menjadi andalan ketika pemilihan digelar. Kenapa susah-susah menepati janji kampanye kalau toh lima tahun ke depan otak-atik suara, otak-atik DPT, otak-atik sistem IT, bantuan dari ‘saudara-saudara’ di KPU, Bawaslu, dan MK bisa menjadi jaminan keterpilihan? Menyebar duit (lagi) akan juga memberikan jaminan keterpilihan?
Kecurangan dalam pemilihan yang sudah ‘melembaga’ akan memprovokasi laku ugal-ugalan dari si-terpilih, baik eksekutif maupun legislatif. Ugal-ugalan, persis yang ditulis Koentjaraningrat sekitar 45 tahun lalu, menjadi suka menerabas, meremehkan mutu, tak percaya diri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Yang menurut Koentjaraningrat, sifat-sifat tersebut bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan tanpa orientasi yang tegas.[2] Mengapa hal ‘penuh keragu-raguan’ dan ‘tanpa orientasi yang tegas’ itu kemudian menampakkan diri pada elit-elit ‘yang terpilih’ itu?
Kadang-kadang pembedaan antara ‘politik ideal’ dan ‘politik riil’ bisa begitu menjebaknya, sama-sama bisa menjadi ‘tempat berlindung’ yang kokoh. Atas nama ke-riil-annya politik jugalah yang membuat banyak orang menjadi begitu nyamannya masuk dalam kolam kecurangan. Ke-riil-an yang kelas medioker itu bukannya ‘alamiah’ berkembang. Lihatlah misalnya, ‘loncat-loncat’-nya Ruhut, dan segala omongannya seperti halnya omongan Abu Janda dan sejenisnya itu. Bukankah kita patut curiga ada hal yang sungguh medioker yang sedang ‘dibiasakan’ di ruang-ruang publik kita? Dan masih banyak lagi ‘upaya sadar’ yang dimaksudkan untuk mengubah soal rasa-merasa publik terkait politik. Dimana kita seakan dituntun untuk menghilangkan ‘kelas-kelas-an’ dalam politik, karena yang ada hanya ‘kelas bar-bar’, kelas tanpa kehormatan, politik tanpa martabat. Dan mereka akan terus berkhotbah, politik ya itu itu, kotor-se-kotor-kotor-nya. Benarkah? Benarkah negara-negara yang sudah maju itu menghayati politik dalam penghayatan yang se-kotor-kotor-nya itu?
Utopia semestinyalah akan terus ‘mengganggu’ pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan politik kita. Maka akan lebih baik jika kita melihat pemimpin itu ada dalam ketegangan antara ‘bintang penuntun’ dan realitas yang dihadapi. Ketegangan antara ‘politik ideal’ dan ‘politik riil’. Politik membutuhkan lebih dari sekedar ‘pekerja politik’. Hal ‘penuh keragu-raguan’ dan ‘tanpa orientasi yang jelas’ seperti disinyalir Koentjaraningrat di atas adalah soal itu juga, ketidak-mampuan dan ketidak-beranian hidup dalam ketegangan di atas. Dan kelima yang diakibatkan oleh ‘penuh keragu-raguan’ dan ‘tanpa orientasi yang jelas’ seperti disebut di awal tulisan ini sebenarnya bisa diringkas sebagai memilih ‘jalan gampang’. Keasyikan dalam memilih ‘jalan gampang’ ini salah satu ujungnya adalah kemudian serba ‘nggampangké’ (Jw).
Dunia bisnis sudah lama memakai paradigma ‘zero defect’ dalam rantai produksinya, tetapi dunia politik republik berkembang masih berlepotan dengan yang serba ‘nggampangké’ itu. Maka ujung seperti apa yang mana terlalu banyak ‘nggampangké’ di dunia politik itu bisa menjadi mudah ditebak, politik menjadi begitu mudah dicaplok kepentingan bisnis.
Ambilah kata yang bertahun akrab di telinga kita, soal ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’, kapan dan dengan jalan apa hal itu akan menjadi kata putus dalam prioritas, misalnya. Bukankah itu mengandaikan sebuah keputusan politik? Dan jika politik sudah tidak berdaya karena terlalu banyaknya sumber daya yang mbèlgèdès, maka bisa kita bayangkan kira-kira apa yang menjadi korbannya: ‘pemerataan’, atau dalam kata lain, soal keadilan. Ketika keadilan bermasalah, atau ke-tidak-adil-an yang naik ke permukaan, seperti dikatakan Dom Helder Camara, potensi pada keterjebakan spiral kekerasan bukanlah isapan jempol belaka. *** (24-08-2019)
[1] Kontjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45
[2] Ibid