www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-08-2019

Antara tahun 1908-1945, para pejuang kemerdekaan dan founding fathers hidup di tengah-tengah dunia yang begitu bergejolak. Ada dua perang dunia. Ada Revolusi Oktober 1917. Ada Depresi Besar di belahan dunia lain. PBB yang terbentuk. Telegram, telepon, radio, surat kabar sudah banyak tersedia meski akses masih hanya pada sebagian masyarakat saja, dan televisi mulai masuk dalam kehidupan. Kabel telegram-telepon sudah melintasi samudera Atlantik. Mobil-mobil mulai dalam tahap pengembangannya yang pesat, demikian juga film. Pesawat udara mulai menghiasi angkasa. Dan bahkan bom atom! Dan tentu juga realitas penjajahan yang dari hari-ke-hari ada di depan mata. Dan juga negara-negara baru bermunculan di muka bumi, termasuk NKRI pada 1945. Ada kapitalisme, komunisme, dan fasisme dalam waktu yang bersamaan dengan intensitas dinamika yang begitu tinggi. Dan nun jauh di belahan dunia sana, seperti digambarkan oleh Joel Bakan: “1800 korporasi berkonsolidasi menjadi 157 antara tahun 1898 sampai 1904. Kurang dari satu dekade, perekonomian Amerika telah bertransformasi dari situasi di mana banyak badan usaha perseorangan yang saling berkompetisi bebas, menjadi perekonomian yang didominasi oleh relatif sedikit korporasi, yang masing-masing dimiliki oleh banyak pemegang saham. Era kapitalisme korporat sudah mulai.[1]

Dan sejak awal berdirinya, hak milik pribadi diakui di republik ini. Juga alat-alat produksipun dimungkinkan dimiliki oleh orang-per-orang maupun kelompok. Dari pacul, sabit, sampai pabrik. Orang kemudian bisa memperoleh uang dari gajinya, atau dari keuntungan dalam berusaha. Juga tidak ada larangan dalam hal sewa-menyewa. Dalam berusaha, tidak ada larangan untuk berkompetisi antara satu dengan yang lain. Orang-orang pergi ke pasar untuk berjualan dan membeli kebutuhan sehari-hari. Suatu hal yang nampaknya ‘biasa-biasa’ saja. Tetapi pengalaman panjang di bawah penjajahan, dan kemampuan dalam mengembangkan imajinasi dalam mengolah bermacam informasi, maka dalam interaksi yang intens dalam membahas ‘atas dasar apa negera ini akan dijalankan’, akhirnya para founding fathers memasukkan hal keadilan sosial dalam sila-kelimanya. Kalau kemudian disebut ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dalam Batang Tubuh UUD 1945 ini adalah salah satu-nya soal ‘keadilan sosial’ itu. Atau kalau dilihat lebih luas lagi, ada peran negara yang krusial di tengah-tengah pengakuan adanya hak milik pribadi, kebebasan untuk memiliki alat-alat produksi dan berusaha dalam sebuah kompetisi. Peran negara untuk apa? Yang utama adalah soal keadilan sosial itu, dan tidak semata hanya untuk melindungi adanya hak milik pribadi, misalnya.

Para founding fathers saat itu dihadapkan pada hiruk-pikuk-nya beberapa ‘eksperimen’ antara lain: dimana pasar seakan melepas diri dari hidup bersama, dengan segala konsekuensinya, atau bagaimana pasar ada di bawah kontrol penuh negara, dengan segala konsekuensinya, atau juga bagaimana jika negara dalam kontrol penuh modal, dengan segala konsekuensinya pula. Dan yang juga sedang berproses saat itu, bagaimana peran negara dengan bermacam ‘alat intervensi’-nya dan pasar bisa membangun apa yang kemudian disebut sebagai welfare state. Tetapi ada satu yang terus berkembang tanpa ada ‘gangguan’ yang berarti, yaitu apa yang disebut Joel Bakan di atas, kapitalisme korporat.

Jika kita melihat dinamika apa-apa yang dihadapi oleh founding fathers saat itu dan perjalanan waktu sampai saat ini maka rasa-rasanya ada ‘urusan yang tidak pernah selesai’ yaitu soal peran negara. Seakan menjadi ‘urusan yang tidak pernah selesai’ terutama karena ia sebenarnya sangat terikat pada soal ‘keadilan sosial’ itu. Terlebih jika ditambahkan dengan dinamika internal dan eksternal republik. Munculnya istilah ‘kapitalisme kroni’ jelas juga tidak lepas bagaimana negara dikelola dengan ‘cara tertentu’ yang sayangnya justru semakin jauh dari perannya sebagai ‘promotor utama’ dalam mewujudkan keadilan sosial. Apalagi sekarang kemudian ditambah dengan tekanan paradigma ‘ultra-minimal-state’ itu. *** (16-08-2019)

 

[1] Joel Bakan, The Corporation, Penerbit Airlangga, 2007, hlm. 15

74-111 Tahun Lalu