01-08-2019
Jika ada ritual pembersihan pusaka atau apapun itu, maka rasa-rasanya kita sedang masuk dalam bulan pencucian topeng, bermacam ‘topeng-topeng nasionalisme’ dari orang-orang ‘sok-nasionalis’.[1] Tentu ini hanya sebagian kecil saja. Sayangnya, yang kecil jumlahnya itu senangnya atau hasratnya lebih untuk ada di sekitar kekuasaan. Sebagian besar lagi, akan betul menghayati bagaimana kecintaan terhadap tumpah-darahnya itu membuat diri terasa nyaman. Dan tidak hanya di bulan Agustus saja, tetapi di sebelas bulan lainnya juga.
“Tetapi karena perjuangan kemerdekaan bangsa kita membawa janji-janji demokrasi, memuliakan dan menegakkan martabat dan kebebasan manusia, persamaan manusia, keadilan sosial dan ekonomi dan sebagainya, maka kini seluruh bangsa kita ikut dalam sandiwara kemunafikan ini,” demikian Mochtar Lubis 42 tahun silam.[2] Membaca lagi tulisan Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban yang merupakan ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, kadang juga masih terasa menyakitkan ketika ciri kesatu yang ditulis Mochtar Lubis adalah Hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang.[3] Tapi bagaimanapun juga, percayalah, semakin banyak dari bangsa Indonesia ini yang sudah muak dengan kemunafikan ini.
Masih menurut Mochtar Lubis, "sistem feodal kita di masa lampau yang begitu menekan rakyat dan menindas inisiatif rakyat, adalah salah sebuah sumber dari hipokrisi yang dahsyat ini." [4] Ada yang menarik di sini jika dibandingkan pendapat Mochtar seperti dikutip dalam alinea di depan, tetapi karena perjuangan dst. .... Yang pertama, adanya sebuah cita-cita yang tinggi itu justru membuat mudah terjebak dalam pidato-pidato kosong ketika tidak mampu membuat ‘sasaran-sasaran antara’ yang dapat dicapai. Berbagai pembenaran atau juga ‘ngelès-ologi’-pun akhirnya bertebaran dimana-mana. Yang kedua seperti dikatakan Mochtar Lubis, feodalisme. Tetapi, itu dikatakan Mochtar Lubis lebih dari 40 tahun lalu. Menjadi agak terusik juga ketika akhir-akhir ini di media sosial banyak bertebaran terkait dengan muaknya terhadap kemunafikan. Artinya, munafik ternyata masih dirasakan banyak bertebaran.
Jika kita belajar bagaimana feodalisme berakhir di Barat (Eropa), maka kita bisa melihat bahwa itu berlangsung tidak di ruang kosong. Setelah compang-camping karena Perang 100 Tahun, melemahnya feodalisme dihantam pula oleh penemuan mesin cetak Guttenberg di penghujung Perang 100 Tahun itu. Selain itu, seperti tergambar dari tulisan Machiavelli, keterputusan dengan kristianitas Abad Pertengahan dalam masalah power juga semakin mengurangi legitimasi sistem feodalisme. Kecuali, menurut Leo Strauss, soal propaganda. Dan menariknya adalah juga di sini, soal retorika. Menurut Mangunwijaya, kemajuan Barat salah satu hal penting adalah soal retorika yang sudah dikembangkan sejak jaman Yunani Kuno. Dan nampaknya, retorika di tangan di luar kaum Sophist itu menjadi berdaya guna sebagai alat pembebas dari tekanan feodalisme yang sudah melemah karena bermacam sebab itu. Masih menurut Leo Strauss, Machiavelli juga mengajak untuk berurusan dengan hal-hal yang masih mungkin dicapai, artinya politik yang riil.
Kombinasi antara kemampuan retorika dalam berenang di kolam yang dasar kolamnya masing bisa dijangkau (jika terlalu dangkal biasanya penghuni utamanya kecebong) inilah yang nampaknya membuat hidup bersama bisa semakin maju, dan dengan perlahan menjadi lebih mampu lagi berenang di kolam yang lebih dalam lagi. Tentu masalahnya bukanlah pada “perjuangan kemerdekaan bangsa kita (yang) membawa janji-janji demokrasi, memuliakan dan menegakkan martabat dan kebebasan manusia, persamaan manusia, keadilan sosial dan ekonomi”, tetapi nampaknya adalah ketika itu ada di tangan kaum Sophist dan menjadi bahan propaganda dengan tanpa perlawanan retorika dari yang di luar kekuasaan. Retorika untuk mencari ‘titik temu’ dari apa-apa yang masih bisa dicapai. Suatu dinamika pencarian ‘titik temu’ yang dipandu dengan adanya ‘bintang penuntun’.
Pakta dominasi yang sudah nyaman dalam merengkuh kekuasaan jelas dalam dirinya akan selalu berusaha mempertahankan dan menambah kekuasaan demi ‘mengamankan’ apa yang sudah diperolehnya. Disinilah sebetulnya ‘letak strategis’ bagi mereka untuk menyibukkan anak didik, terutama pendidikan dasar (SD-SMP) dengan bermacam beban pelajaran demi sempitnya ruang dan waktu untuk ‘pendidikan retorika’. Berani berbahasa, berbahasa dengan benar, dan dengan logika yang berkembang. Ilusi tentang anak yang tahu banyak serta ranking sampai juara olimpiade diharapkan (oleh ‘mereka’) juga mampu mengubur pengembangan retorika ini, yang memang butuh ruang dan waktu yang cukup.
Ada contoh yang kiranya mempunyai daya ungkit besar terkait dengan ‘mencapai apa yang bisa dicapai’ itu. Ketika berhenti menunggu lampu hijau menyala, disamping ada mobil satu lembaga pendidikan dengan tulisan 3M, menyimak, menghabiskan makan yang diambil, dan membuang sampah pada tempatnya. Kira-kira begitu. Suatu ajakan pada siswa yang mungkin saja nampak sederhana dan ‘sepele’, tetapi coba bayangkan ketika itu dengan pendampingan dari hari-ke-hari dan selalu diingatkan pada siswa, bisa jadi ini dapat berfungsi sebagai pengungkit untuk hal baik lainnya.
‘Sok-nasionalis’ dalam judul lebih dimaksudkan lebih pada elit, terlebih yang sedang ada di sekitar kekuasaan atau yang mempunyai hasrat untuk berada di sekitar kekuasaan. Topeng-topeng yang dipakai adalah lebih untuk propaganda dan menyembunyikan ‘sifat aslinya’, untuk lebih mengabdi pada ‘pakta dominasi’ dari pada tumpah darahnya. Dan dapat dipastikan itu akan menjadi lebih menjadi-jadi jika ‘kebiasaan’ itu tidak pernah ada yang mengingatkan. Diingatkan supaya ketegangan antara ‘mengabdi pada rejim yang sedang berkuasa’ dan ‘pada tumpah darahnya’ dihayati bukan sebatas sebagai pilihan, tetapi betul-betul sebuah ‘ketegangan’ yang terus menggelisahkan. Tentu, ‘diingatkan’ dalam ranah politik akan berbeda dengan yang di ’kantin sekolah’, meski esensinya adalah sama. *** (01-08-2019)
[1] Lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/313-Sok-Nasionalis/, juga https://www.pergerakankebangsaan.com/353-Sok-nasionalis-yang-Merusak/
[2] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban, Inti Idayu Press, 1986, cet-7, hlm. 25
[3] ibid, hlm. 23
[4] Ibid