30-07-2019
Dua tahun yang lalu, dunia bisnis perberasan heboh terkait dengan beras kemasan Maknyuss yang diproduksi PT IBU. Menelusuri jejak digital dari kasus Maknyuss ini rasanya menjadi benar apa yang pernah diungkap Leo Strauss 60 tahun lalu, economism is Machiavellianism comes of age [1], ekonomisme adalah Machiavellisme yang menua.[2] Tentu yang dimaksud Strauss lebih dari sekedar kasus-per-kasus. Menurut Strauss, Mountesqueiu sangat memahami hal di atas. Montesquieu dalam The Sprit of the Laws, menurut Strauss, mengeksplorasi ‘konflik’ yang seakan tanpa ujung, antara republik jaman Romawi yang berbasis pada virtue, dengan Inggris modern yang berbasis ‘political liberty’. Tetapi Montesquieu lebih condong ke ‘model Inggris’, yang menurut Strauss, “The superiority of England is based in his view on the fact that the English had found a substitute for stern, republican, Roman Virtue; that substitute is trade and finance.”[3]
Jika dilihat-lihat lagi, mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa apa yang disebut dengan ‘political liberty’ di Inggris itu tetap mempertahankan adanya Sang-Ratu? Apa yang ‘absen’ dari penampakan ketika virtue diganti dengan trade dan finance? Sekitar 10 tahun setelah Spirit of Laws-nya Montesquieu terbit, Adam Smith menerbitkan Moral Sentiments di tahun 1759, yang pada edisi terakhirnya Smith menyinggung tentang famous sect, sebagai ‘kontras’ pendapatnya soal kebanyakan orang akan mendasarkan pada ‘virtue’ yang ‘sekedar kepantasan’ (mere propriety) saja. Dari beberapa hal ini kita mungkin bisa meraba apa yang ‘absen’ dari penampakan ketika virtue diganti dengan trade dan finance adalah potensi chaos yang menghancurkan. Yang seakan asyik berenang dalam ‘sekedar kepantasan’ itu tetaplah di ‘dalam-lubuk-hati-terdalam’ masih menyimpan satu harapan tentang keutamaan yang ada dalam ‘famous sect’. Atau jika mengingat ‘ambiguitas’ soal ‘rejim terbaik’ yang diurai oleh Leo Strauss berdasar pemikiran Aristoteles, terkait ‘warga negara terbaik’ yang tidak tergantung rejim dan membangun kesetiaannya pada negara-bangsanya, dan ‘warga negara terbaik’ yang tergantung dengan rejim yang sedang berkuasa.[4] Di negara yang tidak ada jejak ‘kerajaannya’ maka nampaknya mereka sangat serius dalam memilih anggota-anggota Mahkamah Agung dan juga dalam mengembangkan badan intelijen mereka. Atau bandingkan jika dalam dinamika pemilihan umum, KPU kita anggap sebagai eksekutif, Bawaslu sebagai katakanlah DPR-nya, dan Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Agung-nya, dan lihat jika anggota-anggotanya dan terutama Mahkamah Konstitusi ternyata di bawah standar dalam segala aspeknya dibandingkan ‘ke-agung-annya’, maka rasa pemilu seperti apa yang akan muncul? Rasa curang?
Seratus-enampuluh tahun lalu, atau 100 tahun setelah Moral Sentiments-nya Adam Smith terbit pertama kalinya, Charles Darwin menerbitkan The Origins of Species, berdasarkan pengamatannya pada bermacam kehidupan yang muncul di kepulauan Galapagos, sekitar 300 km lepas pantai Amerika Selatan, bagian dari ring of fire Pasifik. Pengamatan Darwin ini seringnya kemudian dikaitkan dengan soal survival of the fittest yang kemudian diletakkan untuk mem’booster’ trade dan finance yang dimaksudkan sebagai ganti virtue seperti disebut di atas. Tetapi yang sering dilupakan adalah soal adaptasi yang terjadi di lingkungan yang sungguh terisolir, Galapagos itu.
Adaptasi yang terjadi pada burung Finch adalah dimana pada bermacam bentuk paruh berkembang sesuai dengan jenis makanannya. Burung-burung yang seakan menjadi bebas melakukan adaptasi-adaptasi di lingkungan dengan tidak adanya predator bagi dirinya. Demikian juga angsa hitam yang berkembang menjadi penyelam hebat. Dan juga iguana yang juga beradaptasi menjadi penyelam hebat di laut. Manusia dalam perjalanan hidupnya nampaknya mempunyai kemampuan ber-adaptasi tertinggi di ‘dunia-hewan’ ini. Apa yang terjadi pada bentuk paruh-paruh burung bisa dilihat juga bagaimana kemampuan manusia untuk membuat sesuatu yang baik untuk dipertukarkan dan mempunyai ‘daya-tukar’ tinggi. Mungkin dulu manusia pertama-tama seperti burung-burung itu, mengasah kemampuan adaptasi dirinya melalui bermacam inovasi pertama-tama untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dalam lingkungan tertentu yang dihadapinya. Dari sini pula mungkin ‘DNA’ untuk melakukan yang terbaik melalui suatu ‘pembagian tugas’ dalam satu komunitas menelusup selama bertahun-tahun dan terus berkembang dari generasi-ke-generasi, dalam dunia ‘galapagos’-nya sendiri-sendiri. Machu Picchu di pedalaman Amerika Selatan sana adalah contoh bagaimana bangsa Inca dengan daya adaptasi dan inovasinya mencapai puncaknya di dunia ‘galapagos’-nya sendiri. Tetapi, bagaimana ketika orang-orang dari Spanyol datang? Dan bandingkan pula ketika Alexander Hamilton mengintrodusir argumentasi ‘infant industry’ di AS sana, kira-kira 15 tahun setelah Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nations. Argumentasi untuk melindungi industri dalam negeri dari serangan produk industri Inggris waktu itu.
Maka ‘Machiavelli yang menua’-pun menjadi tidak sekedar urusan ‘menjadi tua’. Banyak faktor yang sebenarnya terlibat di dalamnya, yang beberapa kadang itu disembunyikan entah dimana. Dan nusantara yang dikatakan dijajah sampai dengan 350 tahun itu ada satu hal yang perlu diperhatikan, selama itu pula (paling tidak) bisa dikatakan nusantara bukanlah sebuah ‘galapagos’. Dan tidak ada Alexander Hamilton yang mengatakan ‘nanti dulu kami belum siap’ ketika penjajah datang. Tentu interaksi lintas komunitas, bangsa, pulau dan bermacam lagi akan ikut mengembangkan peradaban. Tetapi seperti dikatakan oleh Arnold J. Toybee, tantangan yang terlalu besar akan menghancurkan peradaban. Atau hancurnya peradaban karena minoritas kreatif-nya berubah menjadi minoritas dominan. Dan ketika republik dirasakan terlalu sedikit orang-orang atau lembaga di sekitar kekuasaan yang ‘menjadi baik’ karena tidak tergantung dari rejim, tetapi tertuju pada tumpah darah, maka yang dirasakan bermacam ancaman itu secara telanjang seakan menjadi begitu dekat pada orang-per-orang warganya. Yang banyak beredar katanya, orang atau lembaga yang ‘sok-agung’ atau ‘sok-nasionalis’. *** (30-07-2019)
[1] Leo Strauss, What is Political Philosophy. hlm. 44
[2] terjemahan sebagai ‘Machiavelli yang menua’ diambil dari Herry Priyono, Menggeledah Naluri: Perihal Ekonomi sebagai Kecelakaan Filsafat Politik, 2009, hlm. 250
[3] Leo Staruss, What is ...hlm. 50
[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/359-Fase-Stabilisasi-Rejim-Curang/