31-07-2019
Tujuh puluh tahun lalu, atau 4 tahun setelah republik diproklamasikan, di Afrika Selatan ada undang-undang pelarangan pernikahan campuran antara kulit putih dan kulit berwarna. Dan diterapkanlah kemudian kebijakan resmi apartheid yang berdasarkan ras itu dalam skala yang lebih luas. Tetapi, benarkah apartheid dalam praktek itu hanya berurusan dengan ras?
Inti dari apartheid adalah ketidaksamaan atau bahkan keterpisahan, ada yang mendapat legalitasnya di depan hukum seperti dalam kasus Afrika Selatan di masa lalu, tetapi banyak juga yang terjadi dalam praktek. Apa yang bisa terhayati jika berkali-kali anda dengan mata telanjang melihat hukum dalam praktek tersaji seakan menjadi berbeda ketika berhadapan dengan dua kelompok masyarakat yang berbeda? Sekali lagi, berkali-kali? Apakah penghayatan suatu kondisi atau suatu rentang-waktu-era sebagai apart-heid kemudian tetap menjadi tidak mungkin dengan glorifikasi atau atas nama persatuan dan atas nama lain-lainnya?
Dalam suatu negara-bangsa, adanya kebijakan atau kondisi akan selalu paling tidak memerlukan kondisi politis, teknis, dan sosial. Jika masih ada kata apartheid, sekarang orang pasti akan mengkampanyekan dia anti-apartheid. Masalahnya adalah, jika ia memegang kepemimpinan politik misalnya, apakah kebijakan-kebijakan politisnya benar-benar seperti yang dikampanyekan itu? Apakah dalam urusan teknis, hari-ke-hari dalam praktek penegakan hukum misalnya, apakah betul jauh dari nuansa apartheid? Belum lagi jika masuk ranah sosial.
Jika di tahun 1935 Harold J. Laski menerbitkan bukunya dengan judul The State, in Theory and Practice, apartheid-pun harus dibedakan antara apartheid dalam teori dan prakteknya, apart-heid. *** (31-07-2019)