28-07-2019
“To make our economy stronger and more dynamic, we must prepare a rising generation to fill the jobs of the 21st century. Under the No Child Left Behind Act, standards are higher, test scores are on the rise and we're closing the achievement gap for minority students. Now we must demand better results from our high schools, so every high school diploma is a ticket to success,” demikian George W. Bush di tahun 2005 terkait program No Child Left Behind. Jika kita amati lebih jauh, paradigma yang dipakai oleh Bush adalah paradigma output, berbeda dengan misalnya Finlandia yang menekankan pada proses. Dua tahun setelah pidato Bush tersebut, di AS sono terbit buku yang mengindikasikan kegundahan terkait dengan Pendidikan Tinggi AS yang seakan tanpa jiwa. Exellence Without A Soul (2007) karangan Harry Lewis. 20 tahun sebelum Exellence Without A Soul, Allan Bloom menulis Closing of the American Mind (1987), yang juga menelisik soal (kegagalan pendidikan tinggi) menggapai jiwa anak didiknya. Tentu masih banyak terbitan di luar keduanya.
Jika melakukan benchmarking adalah salah satu upaya meningkatkan mutu, maka ada baiknya kita melihat salah satu hal penting dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi di Jerman seperti pernah diungkap oleh Drost, yaitu adanya kesadaran bahwa hanya 30% dari komunitas yang akan mampu menempuh pendidikan di Universitas. Bukan dimaksudkan sebagai hal yang diskriminatif, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan publik dapat mengakomodir semaksimal mungkin bagi bermacam potensi yang ada diantara warganya. Dan nampaknya, itulah mengapa Jerman begitu serius dalam mengembangkan pendidikan Politeknik-nya yang mana ini akan memberikan kesempatan pula bagi yang 70% untuk bisa menggapai (potensi) sukses seperti rekan-rekannya yang menapak jalur Universitas. 70% komunitas mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan sampai pada level tertingginya, demikian juga yang menapak jalur Universitas, dapat mengembangkan potensi inovatif dan kemampuan menelitinya sampai pada level tertingginya, misalnya. Ada hal yang akan segera nampak dari ‘rekayasa sosial’ seperti ini, yaitu keseriusan soal input.
Tiga berita membuat kita perlu merenung soal Perguruan Tinggi di republik, pertama, soal rekrut rektor asing mulai tahun depan, kedua, berita akan diberikannya gelar profesor kehormatan atau apalah mau disebut pada Puan Maharani oleh UNDIP, dan ketiga, pendataan sosmed atau status atau akun atau apa mau disebut dari mahasiswa dan dosen. Yang terakhir latar belakangnya soal radikalisme. Rasanya ini bukan lagi soal ‘sumur tanpa dasar’ lagi tetapi sudah ’gemblung tanpa ujung’.
Mengapa ada Perguruan Tinggi (PT)? Jika kita runut perjalanan pendidikan dari SD sampai PT maka nampak bahwa yang ditapak adalah sebuah jalan yang menyempit, tetapi lebih mendalam. Begitu lulus SMP tersedia SMK yang mana itu ada untuk mengembangkan berbagai bakat, bermacam potensi. Kemudian ada SMA, dan disitu ada penjurusan juga, sesuai bakat dan potensinya. Masuk Perguruan Tinggi –entah itu jalur Politeknik maupun Universitas, bermacam jurusan khusus tersedia sesuai dengan bakat, potensi, dan kemampuan. Apa yang nampak dari rute menuju PT ini? Satu yang kadang kita lupakan, input untuk PT ini sebenarnya sudah kita persiapkan selama 12 tahun! Sejak anak masuk SD. Dan dari 12 tahun itu mana yang lebih penting? Sadar atau tidak, dengan adanya wajib belajar 9 tahun maka sebenarnya memang yang paling penting itu ada di SD dan SMP, ada di pendidikan dasar. Bahkan jika ada yang kemudian meneruskan bahwa itu dipersiapkan sejak dalam kandungan-pun tidak salah juga.
Jika pendidikan tidak mungkin lepas dari hidup, maka ia mestinya terlibat juga dalam mengembangkan hidup anak didik. Yang mana dari berkembangnya anak-anak didik itu, hidup bersama akan berkembang juga. Pendidikan Tinggi diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang excellence. Yang superior. Superior yang bagaimana? Dalam pertanyaan inilah sebenarnya kita bisa masuk membicarakan dunia Perguruan Tinggi yang tidak lepas dari pendidikan-pendidikan sebelumnya. Superior dengan pondasi pendidikan eros [1] yang berkesinambungan di usia-usia sebelumnya.
Pendidikan eros ini akan juga mengusik apa yang sudah ditulis Koentjaraningrat 45 tahun lalu, soal mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[2] Dengan memberikan ruang dan waktu yang cukup dalam pendidikan eros ini, baik melalui bermacam rute seperti musik, sastra, kunjungan ke museum, dan masih banyak lagi bentuknya, maka dinamika pada usia-usia selanjutnya dalam berpikir misalnya, secara tidak sadar memperoleh energi ‘daya dorong ke atas’ yang kuat. Demikian juga dalam hidup bersama. Tapi ada satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini, bagaimana-pun juga semua pendidikan termasuk pendidikan eros ini tidak akan lepas dari bahasa. Bagaimana ‘ketrampilan’ dalam berbahasa ini, mulai dari soal berani bicara, berani bertanya, mampu mendengar-mengapresiasi, sampai dengan terbiasa dengan bahasa yang tidak asal nggedebus saja, jika ini dikembangkan dengan serius selama 9 tahun pendidikan dasar, ditambah 3 tahun di SMK/SMA, ini akan jadi modal kuat dalam Pendidikan Tinggi nantinya.
Kembali pada judul, Tridharma Perguruan Tinggi? Dalam tanda tanya sebab jika tidak terbangun pendidikan eros yang optimal di pendidikan-pendidikan sebelumnya, jangan-jangan apa yang ada dalam Tridharma PT itu tetap selalu ada dalam bayang-bayang mentalitas seperti disebut Koentjaraningrat di atas. Maka perlu upaya serius dan mendasar untuk mengurai ini. Rektor asing? Nampaknya itu solusi dari seorang pemimpin gèblèk tidak mau susah payah berpikir dan terjangkit kronis sindrom ‘sok nasionalis’. Yang juga pasti: pengecut. Dan sukanya main curang lagi .....*** (28-07-2019)
[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/215-Mak-Erot-Eros/
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, hlm. 45